Rektor Universitas Paramadina yang juga guru besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Prof. Firmanzah memberikan pandangannya terkait dampak COVID-19 bagi ekonomi di dunia dan Indonesia. Dia mengatakan COVID-19 memberikan berbagai dampak yang cukup signifikan dari tenaga kerja hingga konsumsi masyarakat.
Dirinya mengungkapkan pandemi COVID-19 ini akan berdampak pada pengangguran, baik yang diakibatkan dengan pemutusan kerja, pemberhentian kontrak kerja, karyawan yang gajinya tidak dibayar atau ditangguhkan.
"Tidak hanya di Indonesia tapi juga di Amerika Serikat, China dan negara lainnya mengalami persoalan yang sama," ungkap Firmanzah di Webinar Nasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan tema Strategi Pemerintah Hadapi Ancaman Gelombang Kedua Corona yang disiarkan langsung di detikcom, Jumat (10/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya tenaga kerja, penjualan retail juga ikut turun, bahkan di China angka penurunannya bisa 15,8% dan di Amerika Serikat turun 6,2%. Sektor jasa juga terkena imbasnya baik di US, Eropa, di China dan di Jepang trendnya juga anjlok akibat aktivitas ekonomi dihentikan.
"Sektor manufaktur juga terpaksa dihentikan terutama China yang dimulai bulan Januari Februari, lalu juga harga komoditas dunia juga ikut terdampak COVID-19, seperti harga minyak dunia, karet, platinum, batu bara, besi dan baja, perak, gas alam, dan bahan pangan kecuali emas semuanya negatif karena melambatnya aktivitas ekonomi," imbuhnya.
Kemudian, lanjut Firmanzah, dari sisi konsumsi juga mengalami tekanan, sebuah lembaga yaitu PWC memperkirakan konsumsi yang hilang secara global berada di kisaran US$ 1,1 T dan angka tersebut menunjukkan jumlah yang cukup besar dan semua kawasan mengalami persoalan yang sama.
"Sisi suplai center-nya berhenti berproduksi, jasa juga. Dari sisi konsumsi, konsumen juga menghentikan berbelanja, dua mesin ekonomi ini yang menjelaskan mengapa ada potensi resensi di ekonomi dunia besar kemungkinan terjadi di tahun 2021," ujarnya.
Sementara itu, Firmanzah memberikan sebuah data dari WTO yang menunjukkan adanya 2 skenario yaitu pesimis dan optimis terkait dengan perdagangan dunia, di 2 skenario tersebut volume perdagangan dunia diprediksi minus di tahun 2020.
"Di skenario optimis diprediksi hampir -13% dan di skenario pesimis itu hampir -32%, ini menunjukkan betapa tajamnya dampak dari pandemi yang dihadapi di berbagai negara dan bagi perekonomian dunia," tuturnya.
Dirinya juga mengatakan untuk menyelamatkan ekonomi tentu persoalan kesehatan harus diselesaikan dan mengatakan new normal bukan hanya pekerjaan dari pemerintah, namun juga masyarakat, perusahaan, dan ekosistem dunia usaha harus bahu membahu.
"Yang menjadi panglima menurut saya adalah tetap public health karena bila public health tidak bisa menyelesaikan masalah pandemi ini, maka ekonomi juga akan semakin sulit untuk recovery," ucapnya.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan dalam menanggulangi dampak tersebut pemerintah siap dengan exit strategy melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), riset dan transformasi ekonomi melalui undang-undang omnibus law yang sedang digodok oleh DPR dan diharapkan pertumbuhan ekonomi akan positif di tahun 2021.
"Terkait stimulus yang diberikan besarnya mendekati US$ 50 Miliar yaitu di di sektor kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, korporasi, dan juga di sektoral baik itu Kementerian/Lembaga, maupun di Pemda, dan programnya baik itu jaring pengaman sosial, Program Keluarga Harapan (PKH), sembako, kartu pra kerja, diskon listrik, dan BLT dana desa," pungkas Airlangga.
(mul/mpr)