Sejumlah pihak dinilai memanfaatkan pandemi Corona (COVID-19) dengan menawarkan rapid test harga tinggi. Berdasarkan telusuran detikcom, ada Rumah Sakit (RS)/Klinik yang menawarkan harga Rp 300.000 sampai Rp 400.000-an.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan harus menghitung benar jumlah untuk menetapkan harga rapid test. Surat Edaran (SE) yang baru-baru ini dikeluarkan dengan harga maksimal Rp 150.000 dinilai tidak jelas perhitungannya.
"Di satu sisi kita apresiasi angka yang dikeluarkan itu, cuma kronologi dan background keluarnya angka itu tidak jelas," kata Tulus kepada detikcom, Kamis (9/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tulus khwatir kualitas akan diragukan jika pemerintah asal menetapkan harga murah tanpa perhitungan yang jelas. Dia menyarankan agar pemerintah menetapkan tarif atas dan menengah, untuk kalangan bawah kalau perlu diberikan gratis.
"Jadi sebenarnya yang harus diatur oleh pemerintah adalah intervensi harga dan intervensi kualitas. Mungkin harus ada klaster harga jadi ada tarif bawah dan tarif atas dan tarif menengah jadi fair. Kalau perlu untuk orang miskin pemerintah harus menggratiskan. Jangan sampai kita dipaksa rapid test tapi kualitasnya abal-abal," ucapnya.
Selain itu, pemerintah harus mengkaji ulang terkait persyaratan rapid test yang hanya diberlakukan untuk transportasi tertentu. Jika persyaratan rapid test diterapkan tidak merata atau hanya di tempat-tempat tertentu seperti saat ini, dinilai tidak akan efektif.
"Jadi misalnya Kemenhub mengeluarkan aturan semua penumpang pesawat, penumpang KA, kapal laut wajib rapid test, kenapa penumpang kendaraan pribadi yang menggunakan tol tidak? Artinya upaya untuk mengendalikan COVID, sementara ada yang tidak di rapid ya sama saja. Kalau mau semuanya, jangan dibeda-bedakan. Atau kebalikannya dihapus semua," tuturnya.
"Jadi saya kira rapid test harus ditinjau ulang dari sisi harga, kualitasnya dan efektivitasnya jangan sampai hanya jadi komoditas bisnis dan kemudian malah membebani masyarakat," tambahnya.
Dihubungi terpisah, Pengamat Kesehatan Vincent Harjanto mengatakan pemerintah tidak cukup hanya mengeluarkan surat edaran yang menyebutkan harga maksimal rapid test Rp 150.000. Perlu adanya sosialisasi yang harus gencar dilakukan dan penetapan sanksi agar aturan tersebut berjalan di lapangan.
"Pihak RS bilang mereka belum tahu. Jadi ini mesti disosialisasikan dengan baik, kemudian ujungnya kalau perlu dilakukan satu penetapan yang mendapatkan sanksi, gunanya apa SE Menkes (kalau nggak ada sanksi) untuk mengatur. Jadi jangan sewenang-wenang menaikkan harga," ujarnya.
(dna/dna)