Jakarta -
Pemerintah akan memberikan dana talangan kepada beberapa BUMN dalam rangka pemulihan ekonomi nasional (PEN). Salah satu perusahaan pelat merah yang bakal menerima dana talangan itu ialah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dengan nilai Rp 8,5 triliun.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengusulkan bentuk dana talangan dari pemerintah dalam bentuk mandatory convertible bond (MCB) atau obligasi wajib konversi.
"Struktur mekanisme dana pinjaman yang kami usulkan setelah diskusi pemegang saham adalah seperti berikut indikatifnya Rp 8,5 triliun strukturnya mandatory convertible bond. Kita harapkan turunnya 2020," katanya saat rapat dengan Komisi VI di Komisi VI DPR RI Jakarta, Selasa (14/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Irfan mengusulkan skema tersebut lantaran ingin memastikan jika manajemen juga harus berusaha maksimal.
"Ingin memastikan manajemen juga harus melakukan upaya-upaya semaksimal mungkin untuk bisa memastikan perusahaan dijaga keberlangsungannya," ujarnya.
Melalui skema tersebut, pemerintah atau SMI akan berperan sebagai stand by buyer. Ia juga mengusulkan jangka waktu MCB tersebut 3 tahun. "MCB kita usulkan tenor 3 tahun," terangnya.
Sebelum dana talangan cair, Garuda Indonesia juga tengah berkoordinasi dengan Kementerian BUMN dan bank BUMN (Himbara) terkait adanya fasilitas bridging loan.
"Kita berharap dana ini kita peroleh dan sambil menunggu pencairan Rp 8,5 triliun tersebut kita sedang melakukan pembicaraan bersama-sama Kementerian BUMN untuk bisa dilakukan bridging dana pinjaman dari bank Himbara," ujarnya.
Garuda Tanggung Utang Rp 30 TKinerja Garuda sendiri terbilang berat, sebab per 1 Juli 2020 mananggung utang US$ 2,21 miliar atau setara dengan Rp 30,94 triliun (asumsi kurs Rp 14.000). Utang itu terdiri dari operasional US$ 905 juta, pinjaman jangka pendek US$ 668 juta dan pinjaman jangka panjang US$ 645 juta.
"Saldo utang usaha dan pinjaman bank itu totalnya per 1 Juli sebesar US$ 2,2 miliar terdiri seperti saya sampaikan US$ 905 juta dari operasional, pinjaman jangka pendek itu US$ 668 juta dan jangka panjang US$ 645 juta," kata Irfan.
Dia mengatakan, dalam utang jangka panjang US$ 645 juta itu ada yang direstrukturisasi berupa sukuk US$ 500 juta.
"Dari US$ 645 juta ada pinjaman sukuk US$ 500 juta yang sudah berhasil negoisasi dan extend selama 3 tahun yang seharusnya jatuh tempo 3 Juni 2020 menjadi 3 Juni 2023," ujarnya.
Sementara, posisi kas 1 Juli US$ 14,5 juta. Lebih lanjut dia mengatakan, untuk mengatasi masalah tersebut Garuda Indonesia akan melakukan sejumlah inisiatif baik jangka pendek maupun panjang. Salah satu yang dilakukan ialah mengoptimalkan bisnis kargo.
"Kita akan optimalisasi pendapatan non penumpang, mohon dipahami pesawat bagian atasnya untuk penumpang bagian bawah itu adalah kargo kita akan maksimalkan pendapatan-pendapatan dari kargo dan charter," ujarnya.
Garuda Bayar Sewa Pesawat Rp 1 Triliun/Bulan
Dalam rapat ini, Anggota Komisi VI Fraksi Gerindra Andre Rosiade meminta manajemen Garuda Indonesia untuk melakukan negosiasi terkait biaya sewa pesawat. Sebab, kata dia, Garuda menanggung beban berat karena harus membayar biaya sewa sampai Rp 1 triliun per bulan.
"Garuda ini korban pemerasan, korban pencurian yang dilakukan oleh waktu-waktu dahulu bahkan Pak Dirut juga saya minta betul-betul segera negosiasi dengan lessor sehingga bapak setiap bulan harus membayar Rp 1 triliun, US$ 75 juta untuk membayar lessor," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, sewa pesawat merupakan salah satu komponen terbesar struktur biaya. Dia mengatakan, selam 3 bulan ini pihaknya sudah melakukan negosiasi dengan pemilik pesawat.
"Diskusi kita dengan lessor hampir 3 bulan, kita diskusi apapun sampai kita mengancam lah istilahnya. 'Kalau lu nggak mau ngikutin gua ambil aja lah itu pesawatnya'. Sampai kepada level itu. Tapi tampaknya semua lessor nggak ada yang mau ambil pesawat karena kondisi di luar juga nggak baik," ujarnya.
Dia membenarkan, biaya sewa pesawat yang mesti dibayar Garuda Indonesia per bulan sekitar US$ 70 juta atau sekitar Rp 980 miliar (asumsi kurs Rp 14.000). Pihaknya tengah mengejar kesepakatan dengan pemilik pesawat supaya turun US$ 15 juta hingga US$ 20 juta.
"Betul sekitar US$ 70 jutaan juta dan kita dalam posisi hari ini berhasil meyakinkan beberapa lessor tapi overall kita berharap dapat kesepakatan penurunan di level US$ 15 jutaan per bulan sampai US$ 20 juta. Ini kalau kita kalikan 12 kita akan sampai US$ 200 juta saving hanya dari lessor ini," terangnya.
Selain itu, Garuda juga mendapat permintaan dari pemegang saham untuk mengembalikan pesawat Bombardier dan ATR karena dianggap tidak cocok.
"Ini permintaan dari komisaris dan pemegang saham untuk segera mungkin mengembalikan Bombardier dan ATR karena dua jenis pesawat ini tidak cocok dengan Garuda," ujarnya.
Andre kemudian mempertanyakan apakah Garuda Indonesia menyewa pesawat tipe 777 dengan harga US$ 1,6 juta. Padahal, maskapai lain menyewa dengan harga US$ 800 ribu.
Menanggapi itu, Irfan tak ingin bercerita kenapa hal itu bisa terjadi. Dia bilang harga US$ 800 ribu merupakan harga pasar saat ini.
"US$ 800 ribu itu market price harga hari ini. Ini yang jadi basis kita untuk negosiasi dengan mereka untuk mendekati angka itu. Jadi itu yang kita harapkan karena manajemen lama juga sudah melakukan negosiasi dari November 2019 sudah cukup berhasil di beberapa lessor turun di 20%. Ini yang kita harapkan bisa secara terus-menerus bisa kita lakukan," paparnya.
Simak Video "Video: Mengulik Kecanggihan Fitur Find My yang Dipakai Penumpang Garuda Lacak iPhone"
[Gambas:Video 20detik]