Sebuah postingan viral di media sosial yang menyebut orang Indonesia ramai-ramai borong sepeda Brompton di luar negeri.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai sebetulnya fenomena seperti ini biasa saja. Dia mengatakan bagi orang kaya, memang wajar saja menghabiskan uang untuk membeli apapun keinginannya, termasuk sepeda Brompton yang harganya fantastis.
"Sebenarnya ini harus memahami bagaimana perspektif, sudut pandang, bagi mereka yang punya uang, Brompton itu nggak mahal. Ditambah lagi sekarang ini lagi tren naik sepeda, bagi level mereka itu murah dan butuh itu. Ini fenomena biasa saja," ungkap Piter kepada detikcom, Selasa (28/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya saja, Piter menyoroti fenomena ini sangat lah tidak pas di tengah pandemi Corona yang belum surutnya menghantam Indonesia. Di satu sisi orang kaya bisa bersenang-senang memenuhi gengsinya membeli Brompton, namun di sisi lain banyak orang yang makin sulit hidupnya di tengah pandemi.
"Fenomena ini memang biasa saja, cuma tidak pas di tengah pandemi. Di tengah pandemi ini sebagian masyarakat lagi kehilangan pekerjaan, pendapatan, banyak yang kena PHK nggak dapat income. Sementara di sisi lain ada orang belanja untuk main-main, harganya gila-gilaan," kata Piter.
Kejadian ini menurut Piter menjadikan jurang kesenjangan sosial makin melebar dan nyata terlihat. "Fenomena ketidakmerataan ini jadi makin terasa, dan lebih lebar di wabah COVID ini," ujarnya.
Sementara itu, kalau dilihat dari manajemen keuangan, perencana keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia, Andy Nugroho mengatakan kalau niatnya membeli barang, dalam hal ini Brompton cuma karena demi gengsi dan mengikuti tren disebut kurang tepat.
"Kalau cuma buat ikuti tren aja, hitung-hitungan perencana keuangan sih ya nggak tepat. Kalau cuma 3 bulan tren nggak sepedaan lagi ya belum tentu worth it," kata Andy kepada detikcom.
Namun, Andy mengatakan semua kembali lagi ke kondisi keuangan setiap orang. Dia menekankan dalam menata keuangan setiap orang harus mampu mengukur kemampuannya. Dalam kasus membeli Brompton, bila mampu tidak masalah membelinya, namun jangan memaksakan diri.
"Jadi harus mampu ukur kemampuan ya. Memang tergantung dari kondisi tiap orang, misalnya mereka eksekutif di perusahaan besar gaji Rp 100 juta lebih belum sama bonus dan lain-lain dan cadangan tabungan banyak mereka mau keluar dana begitu banyak nggak masalah," papar Andy.
"Tapi jadi nggak wajar, itu misalnya ada orang yang memaksa beli dengan gaji yang nggak besar, sampai mau cicil segala," lanjutnya.
(zlf/zlf)