Jakarta -
Pengamat sebut kondisi deflasi yang terjadi sekarang bisa membuat ekonomi Indonesia saat ini mengarah ke depresi. Pandemi COVID-19 telah membuat ekonomi terkontraksi di kuartal II-2020 -5,32%, tapi yang terjadi malah deflasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Juli 2020 terjadi deflasi sebesar 0,10%. Sementara Bank Indonesia (BI) yang melakukan pemantauan harga mencatat pada minggu pertama Agustus 2020 juga terjadi deflasi 0,01%.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menerangkan, deflasi merupakan alarm bahaya bagi perekonomian. Sebab di tengah ekonomi yang sedang terkontraksi deflasi bisa menunjukkan bahwa daya beli masyarakat melemah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Konsumen menahan belanja sehingga para penjual tidak menaikkan harga, bahkan sebagian melakukan diskon atau obral yang penting stok lama laku terjual. Kalau deflasinya berlanjut akan rugikan para pengusaha," ujarnya kepada detikcom, Rabu (12/8/2020).
Namun deflasi juga menunjukkan ada keanehan dalam situasi ekonomi RI saat ini. Jika berkaca pada kondisi krisis 1998 dan 2008, saat pertumbuhan ekonomi terkontraksi yang terjadi adalah inflasi, harga barang-barang melambung tinggi.
Menurut Bhima yang terjadi saat ini adalah resesi mengarah ke depresi ekonomi. Hal itu berkaca pada kejadian Great Depression yang terjadi di awal 1930-an.
"Situasinya berbeda dibandingkan krisis 1998 dan 2008. Tahun 1998 itu inflasi sampai 70%, harga BBM naik, minyak tanah waktu itu naik, susu bayi naik. Tahun 2008 juga ada inflasi tercatat 11%. Kalau di 2020 ini kondisinya bahkan bukan lagi krisis melainkan resesi yang mengarah pada depresi. Pengalaman di negara negara Eropa dan AS antara tahun 1929-1933 saat great depression yang terjadi adalah deflasi yang berkepanjangan," tuturnya.
"Ini model resesi yg belum pernah dialami Indonesia sejak merdeka," tambahnya.
Jika kondisi ini terus berlangsung maka banyak perusahaan akan tumbang karena harga jual produknya yang turun. Konsekuensinya terjadi lagi gelombang PHK. Ujungnya angka kemiskinan bertambah dan terjadilah depresi ekonomi.
Sementara Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy menambahkan, deflasi saat ini menunjukkan daya beli masyarakat terus menurun. Jika itu terus terjadi maka konsumsi rumah tangga akan terkontraksi lebih dalam.
"Ini yang tidak kita inginkan," ucapnya.
Menurutnya jika Agustus 2020 juga kembali terjadi deflasi, maka kemungkinan besar ekonomi RI di kuartal III-2020 kembali terkontraksi. Artinya Indonesia berada di jurang resesi.
"Jika deflasi terjadi lagi di bulan Agustus, dan di saat yang bersamaan indeks penjualan riil juga pertumbuhannya masih negatif, bisa menjadi indikasi akan semakin sulit pertumbuhan ekonomi berada di level positif di kuartal III nanti," tutupnya.
Mengutip Fortune, terdapat perbedaan yang jelas dalam penurunan PDB dan jangka waktu krisis antara resesi dengan depresi.
Dalam resesi, penurunan PDB berada di kisaran -0,3% hingga -5,1%. Di Amerika Serikat (AS) contohnya, penurunan PDB paling parah (-5,1%) terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu yaitu pada Desember 2007-Juni 2009. Untuk penurunan PDB paling rendah berada di -0,3% terjadi pada Maret-November 2001.
Sedangkan dalam istilah depresi, penurunan PDB berada di kisaran -14,7% hingga -38,1%. Penurunan PDB terburuk di AS (-38,1%) terjadi pada Januari 1920- Januari 1921. Untuk penurunan PDB paling rendah berada di -14,7% terjadi pada Januari 1910-Januari 1912. Secara sekilas, nampak bila penurunan PDB pada depresi ekonomi jauh lebih buruk daripada resesi.
Selain perbedaan besar penurunan PDB, jangka waktu krisis juga menentukan perbedaan antara resesi dengan depresi. Pada resesi, jangka waktu atau lamanya krisis berlangsung selama 6-18 bulan. Sedangkan untuk depresi, lamanya krisis berlangsung antara 18-43 bulan. Dengan kata lain, depresi ekonomi merupakan kondisi yang jauh lebih parah dari resesi.
Simak Video "Video: RI Akhiri Deflasi 5 Bulan Berturut-turut, Oktober Inflasi 0,08%"
[Gambas:Video 20detik]