Saat Pembahasan RUU Cipta Kerja Dinilai 'Kejar Tayang'

Saat Pembahasan RUU Cipta Kerja Dinilai 'Kejar Tayang'

Tim Detikcom - detikFinance
Minggu, 16 Agu 2020 09:41 WIB
Buruh kembali berdemo menolak RUU Cipta Kerja. Unjuk rasa ini digelar saat sidang tahun MPR, DPR dan DPD, Jumat (14/8).
Demoi RUU Cipta Kerja/Foto: Rengga Sancaya
Jakarta -

Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ditargetkan rampung awal Oktober. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun mengatakan RUU Cipta Kerja akan segera selesai.

Namun, masih ada sekitar 1.800 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari total 8.000 DIM yang belum dibahas terkait klaster ketenagakerjaan karena masih didiskusikan secara tripartit, termasuk juga klaster investasi dan administrasi pemerintahan.

Sementara itu, Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Elen Setiadi mengatakan, pemerintah sudah selesai membahas klaster ketenagakerjaan secara tripartit yakni bersama dengan serikat pekerja atau buruh dan juga pelaku usaha.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, saat ini Kemnaker sedang menyusun finalisasi atau penyempurnaan rumusan klaster ketenagakerjaan berdasarkan hasil pertemuan tripartit tersebut.

"Saat ini Kementerian Ketenagakerjaan sedang memfinalisasi penyempurnaan rumusan sesuai hasil pembahasan," ujar Elen kepada detikcom.

ADVERTISEMENT

Melihat perkembangannya, Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam, pembahasan RUU Cipta Kerja yang ditargetkan rampung tahun ini terburu-buru atau seperti 'kejar tayang'.

"Kerja model 'kejar tayang' yang dipraktikkan pemerintah dan DPR ini jelas mengindikasikan besarnya kepentingan politik dan bisnis yang bermain di balik pembahasan RUU Omnibus Law ini. Untuk itu, RUU ini merupakan representasi dari eksistensi oligarki, yang mempertemukan kekuatan politik dan kepentingan bisnis hingga membentuk koalisi yang mampu membajak dan menyalahgunakan otoritas negara," kata Umam ketika dihubungi detikcom.

Ia menilai, pembahasan RUU ini berjalan tidak transparan, dan masih banyak bab-bab yang belum dijelaskan tujuannya.

"Pemerintah dan DPR nampaknya benar-benar berniat membajak otoritas rakyat melalui politik legislasi yang tidak transparan dan akuntabel. Pembahasan RUU ini berpotensi berimplikasi besar terhadap regulasi penanaman modal, kehutanan, rezim perizinan bisnis berskala besar di sektor tambang dan perkebunan, nasib tenaga kerja, hingga relasi pemerintah pusat-daerah ini, seolah sengaja dijaga di dalam 'ruang gelap' kekuasaan," tutur Umam.

Dihubungi secara terpisah, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio pun mempertanyakan serikat pekerja mana yang diklaim pemerintah sudah diajak bicara.

"Kalau dibilang sudah tripartit dengan buruh, buruh yang mana? Organisasi buruh itu kan banyak. Agendanya juga banyak. Ada yang pengin jadi anggota DPR, macam-macam. Jadi yang mana? Makanya jangan buru-buru. Karena kan organisasi buruh banyak sekali. Nah ini yang mana yang diajak bicara? Apakah dia real mewakili buruh untuk kepentingan buruh, atau untuk kepentingan masuk ke legislatif, masuk ke eksekutif, kita nggak tahu," jelas Agus kepada detikcom.

Ia pun meminta pemerintah dan DPR tak terburu-buru menyelesaikan RUU ini. Apalagi, melihat tekanan pandemi Corona pada perekonomian global, ia tak yakin ketika RUU ini disahkan maka investasi bisa langsung masuk.

"Itu kan ide dari Presiden melihat bahwa iklim investasi kita itu kan susah, bertele-tele dan koruptif, sehingga investor enggan datang ke Indonesia, maka muncul lah Omnibus Law ini," imbuh Agus.

"Apa iya kalau diselesaikan tahun ini, lalu tahun depan investasi masuk? Kan semua lagi resesi di dunia. Artinya apa? Tenang saja dulu dikerjakan. Kalau nanti sampai tahun depan ya nggak apa-apalah, yang penting kan jangan Omnibus Law ini jadi persoalan baru lagi," sambung Agus.

Sementara itu, Ketua Pelaksana Harian Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sekaligus Menteri BUMN Erick Thohir, RUU ini harus segera diimplementasikan.

Ia mengatakan, dengan teknologi otomasi di masa depan yang akan masuk ke sektor industri, diperkirakan ada 23 juta orang kehilangan pekerjaannya. Namun, dengan perubahan yang tercantum dalam RUU Cipta Kerja, justru ada peluang lapangan pekerjaan bagi 46 juta orang.

"Data-data luar biasa, dengan automation ada 23 juta yang akan kehilangan kerja. Tapi kalau bisa diubah ada kesempatan bisa 46 juta. Kita nggak bisa sukses kalau kita nggak berubah," jelas Erick dalam acara Milenial Fest 2020, Sabtu (15/8/2020).

Caranya adalah mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia untuk menyesuaikan perkembangan industri dan bisa masuk ke industri 4.0 melalui transformasi yang bisa dilakukan dengan adanya RUU Cipta Kerja.

"Di sinilah UU Cipta Kerja bisa jalan kalau tadi, ada strategi yang besar untuk shifting. Kita punya SDM untuk ke industri 4.0. Dan hari ini percepatan digital menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Itulah perlu kita ubah pola kerja kita, melakukan transformasi ketenagakerjaan kita dengan data-data yang sudah dipresentasikan sebelumnya. This is correct," pungkasnya.



Simak Video "Sederet Ancaman Buruh Jika Omnibus Law Tak Juga Dicabut"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads