Jakarta -
Komisi VI DPR RI kemarin, Senin (31/8) menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang menghadirkan sejumlah pakar ekonomi di Indonesia. Melalui RDPU itu, Komisi VI ingin mendapatkan pandangan untuk nantinya digunakan sebagai bahan mengevaluasi kebijakan pemerintah.
Pakar yang hadir dalam RDPU tersebut di antaranya Ekonom Senior Faisal Basri, Direktur Institute for Developement of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, ekonom Yanuar Rizky, dan pakar ekonomi sekaligus Rektor Unika Atma Jaya Prasetyantoko.
Kritikan pertama ke pemerintah ialah mengenai penganggaran pemerintah terkait penanganan virus Corona. Khususnya anggaran untuk menaikkan konsumsi dan produktivitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia pun menyinggung perjalanan dinas yang dilakukan menteri-menteri ekonomi ke Bali pada 21-22 Agustus 2020 lalu dalam rangka rapat koordinasi tingkat menteri (RKTM). Menurutnya, jika pemerintah ada anggaran lebih sebaiknya digelontorkan langsung ke sektor masyakat dalam bentuk uang tunai agar konsumsi di sektor pariwisata meningkat.
"Yang turun itu kan di restoran dan hotel, nah cek oleh pemerintah, di restoran dan hotel itu berapa persen konsumsinya? Nah dongkrak itu. Tapi jangan dengan cara menteri ramai-ramai liburan ke Bali, bukan itu. Kalau masih ada uang kasih ke rakyat untuk belanja, jadi nggak usah pemerintah yang spending untuk mempercepat itu," kata Faisal di ruang rapat Komisi VI DPR RI, Jakarta, Senin (31/8/2020).
Ia juga menilai fokus pemerintah lebih kepada pencegahan resesi. Bahkan, ia sempat menyinggung perbedaan definisi resesi dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Perkiraan saya minus 3% di kuartal III-2020 ini. Tapi kalau kata Pak Airlangga itu sudah nggak resesi, jadi Menko saja pemahaman tentang resesinya nol besar. Kata Menko kalau kuatal II-2020 5,32% minusnya, kuartal III-2020 minusnya turun itu sudah nggak resesi. Komandan ekonominya nggak mengerti resesi," tutur Faisal.
Meski begitu, menurut Faisal pemerintah sebaiknya tak hanya fokus pada pencegahan resesi, tapi lebih mengutamakan pengendalian penyebaran COVID-19. Dengan fokus pada penanganan COVID-19, ia meyakini perekonomian akan pulih kembali.
"Kita belum resesi. Oleh karena itu saya katakan jangan target kita tidak resesi di kuartal III-2020. Targetnya sampai September benahi virus, sehingga kuartal III-2020 biarkan minus," urainya.
Tak jauh berbeda, Enny juga mengkritik dari sisi penyaluran anggaran. Menurutnya, realisasi anggaran PEN sangat krusial untuk membangkitkan perekonomian dari dampak COVID-19.
"Apakah kuartal III-2020 akan lebih baik atau buruk? Kuncinya adalah efektivitas dari belanja pemerintah. Jadi kalau saweran stimulus ini cukup tepat sasaran maka ini yang akan mampu untuk melandaikan membuat kurva pembalikan tidak akan berlanjut," tegas Enny.
Sementara itu, per 31 Agustus ini realisasi PEN masih di angka 27,7% atau Rp 192,53 triliun dari pagu anggaran Rp 695,2 triliun. Ia pun menegaskan, resesi ekonomi tak bisa lagi terelakkan.
"Apakah kita akan menghadapi resesi atau tidak resesi? Yang pasti kita resesi," imbuh Enny.
Sementara itu, Yanuar mengkritik pemerintah dari sisi penanganan ancaman krisis pangan. Ia menilai, langkah pemerintah untuk membangun lumbung pangan nasional atau food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng) adalah jangka panjang. Sementara, untuk pandemi ini dibutuhkan program yang bisa cepat terealisasi.
Misalnya mengalihkan anggaran food estate untuk memperbaiki saluran irigasi di Pulau Jawa, karena sebagian besar sawah di Jawa masih bergantung pada air hujan.
"Kenapa nggak memperbaiki jalur irigasi di Jawa? Kenapa nggak diperbaiki dulu di Jawa? Sehingga orang-orang di situ, dia bekerja di situ, dia terdampak, produktivitas menurut saya pasti naik kalau dia tidak tadah hujan," tegas Yanuar.
Selain itu, dari total petani miskin atau gurem juga lebih banyak di Jawa. Ia pun mendesak pemerintah untuk lebih mempertimbangkan proyek ini.
"Kalau petani gurem di Jawa nggak dikasih bantuan, apakah nggaK bahaya? Jadi kalau menurut saya kalau memang isunya ingin menaikkan produksi beras, kenapa nggak kita di perbaiki di Jawa, Sumatera, dan Papua khususnya petani gurem. Sehingga petani eksisting ini dibantu," jelasnya.
Berbeda dengan ketiga pakar tersebut, Prasetyantoko justru memberikan saran kepada pemerintah untuk segera melakukan transformasi ekonomi sebagai hikmah dari kehidupan normal baru akibat pandemi COVID-19 ini. Pasalnya, ia meyakini pasca-pandemi perekonomian global akan mengalami perubahan yang cukup signifikan.
"Dengan adanya perpindahan atau shifting ekonomi yang akan tumbuh di sektor-sektor yang punya basis teknologi. Perlu dilihat lagi, aspek lingkungan dan digital perlu dielaborasi lebih jauh, dan punya kebijakan teknologi, inklusi keuangan dalam konteks perubahan yang terjadi," urai Prasetyantoko.
Ia juga menyarankan agar pemerintah fokus untuk membangun industri ramah lingkungan, seperti mobil listrik.
"Perlu ada narasi bangun industri ramah lingkungan. Indonesia punya potensi electric car dengan potensi produksi nikel, dan kita adalah terbesar. Investasi baterai listrik perlu diperhitungkan dan ada BUMN di situ," pungkas dia.
Simak Video "Video: BI Sebut Daya Tahan Ekonomi RI Lebih Tinggi Dibanding AS-China"
[Gambas:Video 20detik]