Pemerintah Dinilai 'Ugal-Ugalan' Dalam Berutang, Benarkah?

Pemerintah Dinilai 'Ugal-Ugalan' Dalam Berutang, Benarkah?

Anisa Indraini - detikFinance
Rabu, 02 Sep 2020 18:45 WIB
Data utang pemerintah
Foto: Mindra Purnomo
Jakarta -

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik Rachbini mengkritisi kebijakan utang pemerintah yang menurutnya ugal-ugalan dalam mengelola Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), termasuk kebijakan utang untuk penanganan Corona (COVID-19).

Didik mengatakan situasi saat ini adalah utang membengkak, sedangkan pandemi COVID-19 meningkat. Dia menyoroti jumlah utang di zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang hingga akhir Mei 2020 mencapai Rp 5.258,57 triliun. Utang tersebut dinilai 300% dari anggaran presiden era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan 20 kali lipat dari anggaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.

"Ini utang yang ugal-ugalan. Utangnya menggunung, COVID-nya terus meningkat. Jadi jumlah penerbitan utang zaman presiden Jokowi tiga kali lipat. Utang tersebut 300% dari anggaran total SBY, itu sama dengan 20 x lipat anggaran Nadiem Makarim," kata Didik dalam webinar bertajuk 'Politik APBN dan Masa Depan Ekonomi', Rabu (2/9/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melihat jumlah utang yang terus meningkat, Didik menilai saat ini Indonesia sudah masuk pada perangkap utang. Utang pemerintah Indonesia dinilai akan menjadi palu mematikan bagi presiden yang akan datang.

"Harus siap-siap menerima tumpukan utang yang dibikin pada saat ini. Jadi utangnya ini besar. Selain utang di APBN, ada juga utang di luar APBN yaitu utang BUMN, utangnya itu sekarang bertambah Rp 7.248 triliun. Utang publik ya utangnya pemerintah daerah, utangnya pemerintah pusat, utangnya BUMN," sebutnya.

ADVERTISEMENT

Di luar utang tersebut, Bank BUMN juga dinilai menjadi beban pemerintah. Bila Bank BUMN mengalami gagal bayar, maka yang akan membayar adalah negara.

"Dalam kategori sistem moneter internasional, itu dianggap sebagai utang. Bila ditambah dengan utang Bank BUMN, itu menjadi lebih dari Rp 10.000 triliun. Kalau itu gagal bayar, yang membayar adalah APBN," ungkapnya.

Selain jumlah utang yang makin besar, lanjutnya, beban utang juga semakin tinggi. Pada 2019, beban bunga utangnya mencapai Rp 275,54 triliun.

"Tidak lama lagi dalam beberapa tahun ke depan, kita harus membayar utang setiap tahun lebih dari Rp 1.000 triliun. APBN sudah masuk perangkap, harus berutang untuk membayar utang. Indikasinya, keseimbangan primer merupakan indikator keseimbangan utang. Defisit keseimbangan primer menunjukkan bahwa pembayaran utang dilakukan dengan melakukan utang baru," terangnya.

Mantan anggota DPR, Theo Sambuaga yang ikut hadir dalam diskusi tersebut mengatakan setiap pemerintahan yang baru pasti akan mewariskan masalah di pemerintahan sebelumnya, termasuk soal utang.

Namun, dia menilai utang tersebut yang terpenting harus bermanfaat untuk kesejahteraan dan keselamatan rakyat serta pemberdayaan ekonomi, sehingga manusianya bisa sehat dan tetap produktif.

"Yang lebih penting lagi, ke depan kita ini harus shift dari orientasi ekspor komoditas tradisional ke ekspor yang lebih mempunyai nilai tambah tinggi dengan teknologi tinggi. Sehingga di samping dapat meningkatkan produktivitas orang-orang yang ada saat ini, juga dapat menghasilkan barang-barang yang bisa merebut pasar di luar. Semuanya itu untuk menambah kemampuan kita membayar utang yang akan datang yang pasti akan tersisa sampai ke belakang," katanya.



Simak Video "Video Momen DPR Cecar Sri Mulyani: Penghematan Ujung-ujungnya Tambah Utang"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads