Toko perhiasan asal Amerika Serikat (AS), Tiffany & Co berencana menggugat perusahaan raksasa fashion mewah Louis Vuitton (LVMH). Hal itu dilakukan karena LVMH telah menunda kesepakatan akuisisi.
LVMH menyebut telah diminta pemerintah Prancis untuk menunda kerja sama akuisisi tersebut karena ancaman tarif dari AS. Perusahaan barang mewah itu mengatakan akan melihat lagi kesepakatan US$ 16,2 miliar atau setara Rp 238,14 triliun (kurs Rp 14.700/US$), yang dibuat sebelum pandemi virus Corona melanda.
Merasa tidak terima, Chairman Tiffany & Co, Roger Farah mengatakan sedang mengajukan gugatan untuk memaksa kesepakatan itu agar tetap dilanjutkan. Dia menilai LVMH sengaja mengulur waktu untuk menghindari penyelesaian kesepakatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami percaya bahwa LVMH akan berusaha menggunakan cara apa pun dalam upaya untuk menghindari pembatalan transaksi sesuai ketentuan yang disepakati," kata Roger dikutip dari BBC, Kamis (10/9/2020).
Baca juga: Pandemi Corona Bikin Barang di AS Mahal |
Padahal, Kepala Eksekutif LVMH Bernard Arnault telah lama mendambakan membeli Tiffany, merek yang terkenal di dunia setelah film Audrey Hepburn tahun 1961, Breakfast at Tiffany's.
Pada November 2019, dia setuju untuk membayar US$ 135 per saham, berjanji untuk mengembalikan kilau perhiasan yang telah kehilangan minat di antara pembeli yang lebih muda.
Tetapi dampak virus Corona membuat penurunan 36% dalam penjualan Tiffany pada kuartal I-2020, sehingga menimbulkan keraguan atas kesepakatan tersebut.
Dalam pernyataannya, LVMH yang sudah memiliki sekitar 75 merek termasuk Christian Dior dan Dom Perignon mengatakan serangkaian peristiwa yang merusak akuisisi Tiffany & Co telah mendorong dewan untuk meninjau kembali situasi tersebut.
Dewan telah menyimpulkan tidak akan dapat menyelesaikan kesepakatan pada batas waktu penutupan 24 November yang diuraikan dalam perjanjian merger 2019.
"Karena itu, Grup LVMH tidak akan dapat menyelesaikan akuisisi Tiffany & Co," katanya.
(eds/eds)