Isu penggabungan atau merger Gojek dan Grab kembali berhembus. Dua perusahaan rintisan terbesar di Asia Tenggara ini dikabarkan telah melakukan pembicaraan untuk penggabungan usaha atas arahan dari pemegang saham, termasuk SoftBank.
Seperti dilansir dari Financial Times, langkah korporasi itu dibahas usai pendiri SoftBank Masayoshi Son memberikan restu atas rencana itu. Berikut hal-hal yang perlu diketahui soal wacana Grab 'kawin' dengan Gojek:
1. Respons Grab
Saat dikonfirmasi, juru bicara Grab enggan berkomentar. Sementara, pihak Gojek belum memberikan tanggapan terkait kabar tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tidak berkomentar mengenai spekulasi yang beredar," demikian pernyataan Grab yang diterima detikcom.
2. Dibahas 6 Bulan Lalu
Masih dikutip dari Financial Times, pembicaraan 'perkawinan' ini rupanya sudah dilakukan sejak enam bulan lalu. Namun, aksi korporasi ini terhalang oleh tentangan dari Softbank salah satu pemegang saham terbesar sebelumnya.
Pendiri Softbank, Masayoshi Son kala itu percaya layanan ride-hailing bisa menjadi monopoli di mana perusahaan yang paling banyak uang akan mendominasi pasar tertentu. Hal itu diungkap orang-orang dekat miliarder Jepang tersebut.
3. Nilainya Tembus Rp 1.000 T
Wacana penggabungan atau merger Grab-Gojek ini pernah mencuat di awal tahun lalu sejalan dengan mundurnya pendiri Gojek Nadiem Makarim yang diangkat menjadi menteri. Saat itu, sejumlah media asing menyoroti rumor tersebut dengan mengutip sumber. Bahkan, nilai atau valuasi perkawinan dua aplikator terbesar di Asia Tenggara ini juga sempat dihitung.
Tech in Asia misalnya yang mengutip The Information, pada 25 Februari 2020 lalu mengungkap kedua 'musuh bebuyutan' itu masih jauh dari kata sepakat untuk merger. Menurut pemberitaan Tech in Asia itu, perkawinan antara Grab dan Gojek ini masuk akal, bahkan sangat menguntungkan.
Dari perhitungan yang dilakukan Tech in Asia, perusahaan hasil merger itu bisa menghasilkan omzet hingga US$ 16,7 miliar (sekitar Rp 240 triliun) setahun dengan valuasi hingga US$ 72 miliar atau sekitar Rp 1.000 triliun (kurs Rp 14.500/US$) di 2025.
(toy/hns)