Sedikit demi sedikit, perkara yang menjerat Putra Mendiang Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo terungkap. Mulanya, kasus ini mencuat lantaran Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengajukan surat pencekalan Bambang Trihatmodjo terkait piutang penyelenggaraan Sea Games 1997.
Belakangan diketahui, Sri Mulyani menyodorkan nilai utang yang harus dibayar putra ketiga Presiden Soeharto itu sebesar Rp 50 miliar. Dalam perjalanannya, perkara ini punya fakta-fakta yang menarik. Simak selengkapnya.
1. Utang Awal Rp 35 M
Pengacara Bambang Trihatmodjo, Prisma Wardhana Sasmita menyatakan, sebenarnya nilai utang awal yang membelit adalah Rp 35 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Prisma, kasus yang membelit kliennya kala Bambang Trihatmodjo menjadi Ketua Konsorsium Mitra Penyelenggara (KMP) Sea Games 1997. Untuk teknis pelaksanannya, dilakukan oleh PT Tata Insani Mukti. Ayah Bambang Trihatmodjo yang kala itu menjadi Presiden RI menggelontorkan uang Rp 35 miliar untuk konsorsium tersebut lewat jalur Bantuan Presiden (Banpres).
"Dana tersebut adalah dana Non APBN dari dana reboisasi Departemen Kehutanan yang dipakai Kemensetneg," kata dia saat dihubungi detikcom, Minggu (27/9/2020).
2. Dana Talangan Pelaksanaan Sea Games 1997
Menurut Prisma, dana tersebut sebenarnya merupakan dana talangan untuk kepentingan Sea Games 1997. Karena komitmen Konsorsium Mitra Penyelenggara (KMP) pada dasarnya hanya kesanggupan dalam penyelenggaraan Sea Games-dana kesanggupan konsorsium maksimal Rp 70 miliar namun sebagaimana Audit ternyata lebih dari Rp 156 miliar- tidak meliputi dana pembinaan atlit.
"Sebagai bentuk itikad baik, laporan dan penyampaian pertanggungjawaban sudah dilakukan di tahun 1999 kepada Kemenpora, KONI dan Kemensetneg oleh PT TIM sebagai subyek pelaksana konsorsium. Dan sudah disampaikan permohonan konversi hingga tahun 2006 namun tidak ada tanggapan berarti," tutur dia.
3. Utang Bengkak Jadi Rp 50 M
Prisma melanjutkan, baru pada 2017 ada penagihan yang hingga saat ini sudah di angka Rp 50-an miliar. Angka Rp 50 miliar tersebut, lanjut dia, merupakan nilai pokok utang ditambah dengan akumulasi bunga sebesar 5 persen per tahun.
"Bunga 5 persen setahun yang sebenarnya itu talangan yang disebut sebagai utang hingga selesai dilakukan audit keuangan. Namun ya itu, unsur politiknya dibawa-bawa. Apalagi tanpa diduga Presiden Soeharto lengser di 1998," ucap Prisma.
Namun, ia melanjutkan, kliennya merasa bukan penanggungjawab PT Tata Insani Mukti, maka ia keberatan bila harus menanggung tagihan tersebut. Menurut Prisma, yang bertanggungjawab atas keuangan dana yang ditagih adalah PT Tata Insani Mukti. Sehingga Bambang kaget kok malah dicekal.
"Yang menjadi subyek KMP itu adalah PT Tata Insani Mukti. Ini yang keliru dipahami. Konsorsium secara perdata bukan subyek hukum sehingga tidak bisa dimintai pertangungjawabannya. Jadi, yang dimintai pertanggungjawabannya itu ya PT sebagai subyek hukumnya," tegas Prisma.
Buka halaman selanjutnya.