Jakarta -
Selama ini, Amerika Serikat dan China kerap menjadi rival di panggung internasional. Baru-baru ini, misalnya, Washington melarang operasional Tiktok, We Chat dan perusahaan teknologi China lainnya di Negeri Paman Sam tersebut.
Tak mau tinggal diam, Beijing langsung membalas AS dengan mengeluarkan daftar perusahaan asing (terutama AS) yang dilarang berbisnis di negeri tirai bambu.
Namun, di sisi lainnya, hubungan keduanya justru tampak tak terpisahkan. Ada ketergantungan satu sama lain yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut sejumlah fakta soal pasang surut 'mesranya' hubungan dagang AS-China.
Sebagian besar hubungan antara AS dan China berpusat pada perdagangan, di mana kedua negara telah menjadi mitra dagang utama satu sama lain selama bertahun-tahun.
Hubungan itu mulai terganggu setelah pertarungan tarif meletus pada 2018 lalu ditambah hubungan perdagangan kerap tidak seimbang.
Dalam perdagangan barang dagangan, AS mengimpor jauh lebih banyak dari China, tetapi kebalikannya terlihat dalam perdagangan jasa, di mana China membeli lebih banyak dari AS daripada jumlah yang dijualnya.
Meskipun begitu, perdagangan bilateral baik barang dan jasa keduanya masih mencapai US$ 636,8 miliar.
Presiden AS Donald Trump pun masih berusaha mendorong China untuk membeli lebih banyak produk pertanian negaranya untuk menenangkan petani AS yang dipandang sebagai blok suara penting baginya dalam pemilihan presiden di bulan November mendatang.
Kedua negara juga mencoba mengatasi ketidakseimbangan perdagangan barang mereka yang besar dengan meminta China untuk menyetujui impor lebih banyak dari AS dalam apa yang disebut kesepakatan perdagangan fase satu yang ditandatangani awal tahun ini.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Keterkaitan Rantai Pasok
Di luar perdagangan langsung, AS dan China juga menjadi semakin saling ketergantungan satu sama lain melalui peningkatan hubungan rantai pasok selama dekade terakhir. Setidaknya demikian menurut Fitch Ratings dalam sebuah laporan bulan lalu dikutip dari CNBC, Selasa (29/9/2020).
Rantai pasok adalah sebuah sistem terkoordinasi yang terdiri atas organisasi, sumber daya manusia, aktivitas, informasi, dan sumber-sumber daya lainnya yang terlibat secara bersama-sama dalam memindahkan bahkan menghasilkan suatu produk atau jasa baik dalam bentuk fisik maupun virtual dari suatu pemasok kepada pelanggan. Hasil produk dan layanan tadi kemudian dapat dikonsumsi di dalam negeri maupun secara global.
Sulit untuk mengumpulkan data akurat yang menguraikan kontribusi rantai pasokan tertentu oleh setiap perusahaan. Namun, OECD atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, meluncurkan database pada tahun 2013 lalu yang memberikan beberapa wawasan tentang cara kerja rantai pasokan global.
Estimasi terbaru yang tersedia oleh OECD menunjukkan bahwa pada 2015, input asing menyumbang 12,2% - atau sekitar US$ 2,2 triliun - dari total barang dan jasa yang dikonsumsi di AS. China adalah negara penyumbang terbesar dari input asing tersebut.
Beberapa produsen di AS sangat bergantung pada China untuk input perantara atau produk akhir, kata Fitch, mengutip data OECD. Mereka termasuk produsen tekstil, elektronik, logam dasar dan mesin.
Di China, pemasok asing menghasilkan sekitar 14,2%, atau US$ 1,4 triliun, dari total barang dan jasa yang dikonsumsi di dalam perbatasannya pada tahun 2015, menurut data OECD. AS juga merupakan negara penyumbang tunggal terbesar untuk masukan asing tersebut, perkiraan menunjukkan.
Berbeda dengan ketergantungan AS pada input China di sektor manufaktur, China jauh lebih bergantung pada kontribusi Amerika dalam bidang jasa.
Arus investasi
Meskipun saling ketergantungan dari sisi perdagangan dan rantai pasokan, arus investasi antara AS dan China agak melempem karena ketegangan bilateral kedua negara tengah meningkat.
Selama tiga tahun terakhir, nilai total investasi asing langsung dan kesepakatan modal ventura antar negara telah menurun, menurut data Rhodium Group.
Menurut Rhodium Group, telah tercipta tren penting di mana terjadi penurunan akuisisi China atas aset teknologi AS. Sementara itu, investasi AS di China relatif lebih tangguh.
Banyak bisnis AS yang beroperasi di China yang mengatakan mereka belum ingin pindah dari sana.
Lembaga pemeringkat mengutip survei yang dilakukan tahun lalu oleh Kamar Dagang Amerika di China, di mana 83% responden mengatakan mereka tidak mempertimbangkan untuk merelokasi manufaktur atau mencari sumber di luar China.
Proporsi perusahaan yang berniat untuk tetap di China telah meningkat dibandingkan dengan survei sebelumnya, dari 80% pada 2018 dan 77% pada 2017.