Investor Asing di Sektor Pelayaran Bisa Bikin Industri Maritim Redup?

Investor Asing di Sektor Pelayaran Bisa Bikin Industri Maritim Redup?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Rabu, 30 Sep 2020 16:49 WIB
Kesibukan pelayanan bongkar muat di dermaga peti kemas ekspor impor (ocean going) milik PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II dipastikan tetap berjalan maksimal di tengah persiapan menyambut kunjungan Ratu Kerajaan Denmark Margrethe II bersama suaminya, Prince Henrik , Jakarta, Kamis (15/10/2015). Ratu Margrethe II dan Price Henrik akan berkunjung ke lokasi ini pada pekan depan, Kamis (22/10). Seperti diketahui Maersk Line, salah satu perusahaan pelayaran terbesar di dunia asal Denmark saat ini menjadi pengguna utama Pelabuhan yang dikelola Pelindo II. Kehadiran Ratu Denmark menunjukkan kepercayaan negara asing terhadap kualitas pelayanan pelabuhan di Indonesia. Dalam satu tahun kapasitas pelayanan bongkar muat Pelindo II mencapai 7,5 juta twenty-foot equivalent units (TEUs). Agung Pambudhy/Detikcom
Foto: agung pambudhy
Jakarta -

Pemerintah berencana untuk membuka kesempatan untuk investor asing dalam kepemilikan kapal berbendera Indonesia. Hal ini untuk kegiatan angkutan muatan dalam negeri.

Pengusaha menilai hal ini tidak sejalan dengan UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran khususnya pasal 8 dan pasal 57 sehingga dapat berakibat dapat meredupkan kekuatan industri maritim dalam negeri.

Menanggapi hal tersebut, ketua Umum INSA, Carmelita Hartoto mengatakan, penerapan aturan kapal berbendera merah putih atau asas cabotage ditegaskan dalam Inpres No 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang Pelayaran No 17 tahun 2008.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menyebut jika asas cabotage coba dibuka, maka Indonesia akan kehilangan kekuatan potensi maritim nasional di sektor pelayaran.

"Ini bukan berarti kita anti asing, tapi harusnya laut dan sumber dayanya dioptimalkan untuk kepentingan nasional dengan perdagangan domestiknya dilayani kapal merah putih," kata dia dalam siaran pers, Rabu (30/9/2020).

ADVERTISEMENT

Carmelita menjelaskan INSA sepenuhnya mendukung RUU Cipta Kerja, selama kepentingan sektor pelayaran dalam negeri tetap berdaulat di wilayah NKRI.

Menurut dia penerapan asas cabotage juga tidak hanya diterapkan di Indonesia. Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkannya, seperti Amerika, Jepang, Tiongkok dan negara-negara maju lainnya.

Menurut INSA investasi asing di industri pelayaran tidak sama dengan investasi asing di sektor manufaktur dan infrastruktur yang membawa dana dan membuka lapangan pekerjaan.

Hal ini mengingat investasi asing di industri pelayaran tidak bisa diartikan sebagai bentuk aliran dana masuk, melainkan hanya berupa pencatatan asset di pembukuan. Kapal sebagai asset bergerak sangat mudah dipindahtangankan dan berganti bendera negara.

Keuntungan pelayaran asing juga akan dibawa balik ke negara mereka, yang artinya devisa negara akan lari ke luar negeri. Alhasil, kondisi ini juga akan membebani neraca pembayaran Indonesia.

Alih-alih mendorong perekonomian nasional dan menyerap tenaga kerja, investasi asing di industri pelayaran justru mengancam lapangan kerja dan ekosistem di industri pelayaran nasional.

"Atas dasar itu, DPP INSA menilai konsistensi penerapan asas cabotage merupakan harga mati dan bersifat wajib untuk negara. Dengan begitu, kedaulatan negara terjaga dan perekonomian nasional dapat terus tumbuh."

Tidak hanya terkait dengan devisa, kapal asing yang masuk dikhawatirkan akan berpengaruh pada industri galangan kapal dalam negeri. Ketika kapal asing masuk dan memilih mengunakan galangan luar atau miliknya sendiri, artinya ini sebuah kehilangan bagi industri galangan kapal dalam negeri.

Selain itu asas cabotage telah berdampak positif terhadap serapan tenaga kerja di industri pelayaran dan ekosistem industri di sekitarnya, seperti logistik, galangan, asuransi, klasifikasi Indonesia, industri komponen, konsultan design kapal, lembaga sekolah dan pelatihan SDM pelaut dan lainnya.

Khusus kondisi bisnis kapal roro penumpang saat ini sudah oversupply, mengingat utilisasi kapal di bawah 50 persen. Kondisi ini semakin parah saat terjadi pembatasan pergerakan orang saat Covid-19.

Atas dasar itu, relaksasi investasi asing di bidang kapal roro penumpang justru akan berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup usaha kapal. "Sehingga bisa berpotensi akan terjadi PHK massal baik di pelayaran maupun industri penunjangnya," jelasnya.

Dari kajian INSA, armada kapal merah putih semakin tumbuh sejak diberlakukannya asas cabotage di Indonesia. Ini terbukti dengan menurunnya jumlah armada asing lantaran armada merah putih berhasil menguasai pangsa pasar angkutan laut domestik.

Seperti kondisi pasar angkutan laut dalam negeri, lanjut Darmansyah, khususnya di sektor minyak dan gas (migas) saat ini hampir 98% digantikan oleh armada merah putih.

Menurutnya, adanya asas cabotage menjadikan supply dan demand angkutan domestik akan lebih stabil. Misalnya dalam harga freight di pasar internasional tinggi, maka armada merah putih tidak mudah lari ke luar negeri sehingga kebutuhan dalam negeri tetap terjaga.

Dia mengungkapkan bahwa saat ini untuk jenis-jenis kapal tertentu sudah oversupply sehingga pengguna jasa angkutan laut mempunyai kesempatan untuk mendapatkan harga yang terbaik. Kondisi ini juga menjadikan persaingan antar pelaku usaha semakin ketat.

"Kondisi oversupply ini dapat berdampak negatif bagi pelaku usaha pelayaran, yaitu terjadi banting-bantingan harga sewa kapal," ujarnya.


Hide Ads