Negara-negara termiskin yang terdaftar dalam program keringanan utang dari G20 yang bernama Debt Service Suspension Initiative (DSSI) akan menghadapi pilihan yang sulit. G20 dikabarkan akan membuat persyaratan baru bagi negara-negara miskin untuk memperoleh keringanan utang.
Adapun syaratnya yakni negara-negara miskin harus menyatakan default atau gagal bayar terhadap utang yang diperoleh dari lembaga keuangan swasta, atau jika tidak maka negara itu harus keluar dari program DSSI.
Dilansir dari Reuters, Rabu (30/9/2020), aturan baru ini diklaim sebagai cara mempertahankan keseimbangan pasar keuangan global.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan, lembaga keuangan atau dana investasi swasta yang juga meminjamkan uang kepada negara-negara yang terdaftar dalam DSSI juga harus terlibat memberikan keringanan.
"Pembebasan utang terlalu dangkal jika diandalkan sebagai penerang di ujung jurang utang. Jika kreditur komersial tak berpartisipasi dalam penundaan atau moratorium utang ini, maka para lembaga multilateral yang menyediakan pembiayaan akan terkuras," kata Malpass.
Merespons itu, Kevin Daly dari Aberdeen Standard Investments yang juga berada di kubu sektor swasta menilai, dengan imbauan Malpass berarti penghapusan utang untuk para pemegang obligasi akan menjadi wajib di tengah harapan DSSI memperpanjang keringanan utangnya.
Namun, perubahan syarat itu akan dilihat dalam pertemuan tahunan IMF yang akan dilaksanakan bulan depan.
European Network on Debt and Development (Eurodad), sebuah organisasi yang terdiri dari 50 lembaga non-pemerintah memperkirakan negara-negara yang terdaftar dalam DSSI punya kewajiban membayar obligasi ke sektor swasta hingga US$ 6,4 miliar atau sekitar Rp 95 triliun (kurs Rp 14.892), dan ke pemberi pinjaman swasta lainnya sebesar US$ 7,1 miliar atau sekitar Rp 105 triliun. Secara akumulatif, utang negara-negara termiskin itu terhadap sektor swasta mencapai Rp 201 triliun, melebihi utang mereka ke negara-negara G20.
"Kami sudah mendengar ada kemungkinan kuat bahwa ini (syarat yang melibatkan sektor swasta) bisa terjadi," kata Menteri Luar Negeri Angola untuk Anggaran dan Investasi, Aia-Eza Silva.
Namun, menurut lembaga-lembaga amal di dunia, 121 negara dengan penghasilan terendah menghabiskan pendapatan negara di tahun 2019 lebih besar kepada pembayaran utang luar negeri, dibandingkan menganggarkan untuk sektor kesehatan. Sehingga, lembaga itu menilai bantuan keringanan utang ini sangat diperlukan.
Iolanda Fresnillo dari Eurodad mengatakan, keringanan utang bisa menjadi solusi bagi banyak negara miskin. Namun, keringanan yang dibutuhkan bukan hanya penundaan, tapi pembatalan utang.
"Dengan hanya menunda pembayaran, Anda tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi negara-negara ini," kata Fresnillo.
Sementara itu, S&P Global, Moody's dan Fitch telah memperingatkan bahwa jika negara-negara miskin itu juga menangguhkan atau menunda pembayaran utang ke sektor swasta atau mereka sebut sebagai restrukturisasi, maka hampir pasti ada potensi gagal bayar.
Ketiga lembaga rating global itu menilai restrukturisasi lebih rumit dan biasanya memakan waktu lebih lama daripada yang dialami negara-negara yang terkena bencana sekarang. Artinya, negara-negara miskin yang berjuang untuk mendapatkan akses pasar internasional selama 1 dekade terakhir akan kehilangannya.
Sebagai informasi, dari 73 negara termiskin, hanya 43 negara yang memenuhi syarat untuk masuk dalam DSSI. Adapun utang yang akan mendapat keringanan secara akumulatif mencapai US$ 5 miliar atau sekitar Rp 74 triliun.
(dna/dna)