Dihantam Corona, Harga Jual Tembakau Rajangan Klaten Anjlok

Dihantam Corona, Harga Jual Tembakau Rajangan Klaten Anjlok

Achmad Syauqi - detikFinance
Sabtu, 03 Okt 2020 16:00 WIB
Petani menjemur tembakau di Desa Solodiran, Kecamatan Manisrenggo
Foto: Achmad Syauqi/detikcom: Petani menjemur tembakau di Desa Solodiran, Kecamatan Manisrenggo
Klaten -

Harga jual tembakau rajangan asal Kabupaten Klaten anjlok mendekati puncak musim panen. Harga jual tembakau kering hanya Rp 30.000- Rp 35.000 per kilogram.

" Ini harga masih Rp 32.500 tembakau rajangan kering. Padahal tahun kemarin rajangan kering yang sekarang Rp 32.500 itu bisa Rp 50.000 per kilogram," kata ketua kelompok tani Ngudi Rukun Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Elik Harsono pada detikcom di lahan, Sabtu (3/10/2020) siang.

Menurut Elik, harga yang belum kunjung naik itu membuat petani khawatir. Pasalnya saat ini sudah masuk puncak masa petik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, saat ini sudah masuk masa puncak petik dan masa puncak pengeringan mungkin pertengahan bulan ini, tapi nyatanya harga tak membaik.

Anjloknya harga disebabkan banyak faktor. Salah satunya karena ada pandemi COVID-19.

ADVERTISEMENT

"Bagusnya tanam tembakau itu di awal bulan Mei sampai awal bulan Juni. Tapi karena ada COVID ini baru tanam diawal bulan Juli sehingga terus mundur," jelas Elik.

Belum lagi, papar Elik, persoalan cuaca tahun lalu yang juga mundur hujannya. Dampaknya petani selain mundur juga ragu.

"Biasanya disini kan padi, padi baru tembakau pola tanamnya. Tapi karena musim mundur dan ada COVID petani jadi ragu tanam karena khawatir di tengah COVID nantinya laku atau tidak tembakau," sambung Elik.

Kondisi kekhawatiran musim dan pandemi itu, ujar Elik, membuat petani banyak yang mengurangi luasan lahan tanam. Rata- rata mengurangi luasan sampai 50 persen.

"Lahan dikurangi luasanya. Saya tahun lalu tanam lima hektare dan tahun ini hanya satu hektare dan ternyata harga tidak bagus di tengah pandemi sehingga kemungkinan kalau rugi sedikit," terang Elik.

Lebih lanjut Elik menuturkan, musim tahun ini juga menambah ruwet harga tembakau. Bulan September awal masih ada hujan sehingga mutu tembakau sulit naik gridnya.

" Tanggal 3 September saya ingat masih ada hujan sehingga kadar air daun tembakau masih tinggi. Ini menyebabkan kadar air masih tinggi sehingga masih ada warna coklat pada daun dan belum lagi pabrik menerapkan protokol COVID yang ketat sehingga tidak cepat membeli semua tembakau," pungkas Elik.

Langsung klik halaman selanjutnya


Petani tembakau dari kelompok tani Dadi Mulyo Desa Kebondalem Lor, Kecamatan Prambanan, Sariman mengatakan harga saat ini paling tinggi Rp 35.000. Padahal sudah petik daun ketiga.

" Ini petik ketiga masih Rp 35.000 padahal tahun kemarin maksimal bisa sampai Rp 70.000 per kilogram kering. Penyebabnya ini kadar air masih tinggi, warnanya masih hijau kuning jadi naik harganya sulit," ucap Sariman di sawahnya.

Sariman mengungkapkan dari sisi hasil tahun ini tidak jauh beda sebab per hektare bisa menghasilkan 7-8 kuintal rajangan. Kesuburan tanaman juga bagus tapi harga anjlok.

" Daun bagus tapi harga tidak bagus. Padahal petani mengurangi lahan dan sebagian ditanami sayuran setelah ada COVID," ungkap Sariman.

Sariman menduga, iklim yang cenderung basah dan adanya COVID menyebabkan harga tidak naik meskipun barang tidak sebanyak tahun lalu. Bisa juga karena penjualan rokok tidak bagus.

"Mungkin karena COVID ini penjualan rokok tidak bagus. Nyatanya pabrik belum banyak yang membeli jadi harga masih rendah," jelas Sariman.

Petani Desa Solodiran, Kecamatan Manisrenggo, Sukarjo mengatakan pendemi COVID tidak terlalu besar dampaknya. Yang menentukan adalah cuaca.

" Pengaruh COVID ada tapi paling pabrik. Ini harga anjlok karena cuaca tidak menentu sebab September masih ada hujan sehingga grid tembakau saat ini yang tahun lalu sudah Rp 50.000 ini masih Rp 30.000," kata Sukarjo.

Kepala Dinas Perdagangan Koperasi dan UMKM Pemkab Klaten Bambang Sigit Sinugroho mengatakan semua sektor perdagangan dan UKM terdampak COVID. Penyebab utama daya beli menurun.

" Semua sektor kena karena daya beli menurun, masyarakat tidak membeli barang. Jadi pabrik juga sama mengurangi pembelian sehingga agar semua pulih harus daya beli masyarakat naik dulu," terang Bambang Sigit pada detikcom saat dikonfirmasi telponnya.


Hide Ads