Singgung Masalah Pesangon, Pengusaha Minta Omnibus Law Tetap Jalan

Singgung Masalah Pesangon, Pengusaha Minta Omnibus Law Tetap Jalan

Angling Adhitya Purbaya - detikFinance
Selasa, 06 Okt 2020 21:30 WIB
Buruh melakukan longmarch untuk menolak pengesahannya Omnibus Law, Selasa (6/10/2020). Namun sebelum sampai di lokasi aksi di kantor Pemkab Bekasi, buruh dimintai untuk putar balik.
Foto: Rifkianto Nugroho
Semarang -

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah, Frans Kongi menyebut Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang baru saja disahkan bisa menyerap banyak tenaga kerja. Dia berharap aturan tersebut bisa berjalan.

"Jujur saja bahwa di dunia usaha, para pengusaha selalu mengeluh mengenai peraturan yang berbelit-belit, mengenai biaya mahal, mengenai perijinan, juga mengenai pesangon. Ya itu sudah berkali-kali kita ajukan kepada pemerintah sejak undang-undang 13 tahun 2003 disahkan. Kita sudah lihat pesangon ini tidak masuk akal, tidak mungkin perusahaan bisa melaksanakan," kata Frans dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Selasa (6/10/2020).

Ia menjelaskan, investor yang akan mendirikan perusahaan di Indonesia selama ini sudah dibayangi soal banyaknya pesangon. Bahkan, perusahaan dengan ribuan karyawan akhirnya memilih tutup.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Coba bayangkan, orang mau dirikan perusahaan sudah dibayangi dengan pesangon yang begitu banyak. Mana ada uang? Kalau kita mau jujur sekarang, kenyataan sekarang, banyak perusahaan yang bangkrut, perusahaan yang karyawannya 2.000 orang 3.000 orang lalu tutup, karyawannya tidak mendapat apa-apa. Undang-undang hanya berlaku di kertas saja. Terus mau apa kita sekarang?," tandasnya.

Menurut Frans pengusaha dan buruh saling membutuhkan dan Undang-Undang Cipta Kerja bisa memberi angin segar untuk dunia usaha dan pekerja.

ADVERTISEMENT

"Kita lihat Vietnam. Dulu saat kita sudah bisa ekspor tekstil, bisa ekspor ini itu, Vietnam itu belum mulai. Tapi tiba-tiba sekarang mereka sudah lebih dari kita dalam waktu 15-20 tahun. Ekspor tekstil mereka sekarang itu secara nasional 2 kali lho dari kita. Karena apa? Karena mereka punya semacam omnibus law. Di sana mereka itu sepakat untuk bekerja sama. Sedangkan kita terlalu banyak politisi," katanya.

Ia juga menjelaskan soal kualitas pekerja atau buruh di Indonesia. Menurutnya salah jika buruh Indonesia memiliki kompetensi rendah, baginya buruh di sini sangat produktif dan bisa dididik.

"Buruh kita ini pintar, jangan anggap enteng. Ada yang mengatakan, banyak yang hanya pendidikan SMP atau SD, bisa apa? Oh, jangan percaya sama pemeo-pemeo seperti itu. Itu hanya untuk mereka bergerak di bidang politik saja. Buruh kita itu bisa dididik. Mereka itu pintar, tutur Frans

Mereka bisa jadi buruh yang produktif, bukan buruh yang suka ngemis-ngemis dan suka demo. Coba lihat di Semarang saja saat ada demo di Simpang lima misalnya, ribuan buruh tetap bekerja di pabrik-pabrik, di tempat usaha lain. Mereka itu produktif.

Jadi, menurut Frans, dia tidak sependapat kalau ada yang mengecilkan arti tenaga kerja.

"Sekarang ini yang menyebabkan buruh kita kurang sejahtera, karena kita tidak punya omnibus law, yakin saja," tegas Frans.

"Jadi, mari kita beri kesempatan ada UU Cipta Kerja ini jalan dulu, dan saya yakin 10 tahun ke depan buruh kita akan jauh lebih sejahtera, buruh kita akan bisa jadi turis di luar negeri," imbuhnya.

Pernyataan Frans itu juga diungkapkan dalam Webinar bertema "Mogok Kerja, Pandemi, UU Cipta Kerja" yang diadakan oleh Kadin Kota Semarang. Untuk diketahui, UU Cipta Kerja disahkan oleh DPR hari Seni (5/10) kemarin. Gelombang penolakan dari buruh terus terjadi.

(alg/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads