Investasi Bisa Jalan Tanpa Omnibus Law? Ini Kata Faisal Basri

Investasi Bisa Jalan Tanpa Omnibus Law? Ini Kata Faisal Basri

Soraya Novika - detikFinance
Jumat, 09 Okt 2020 13:03 WIB
Ekonom dan politikus
Faisal Basri/Foto: Muhammad Ridho
Jakarta -

Ekonom senior Faisal Basri menyebut tidak ada urgensi Omnibus Law Cipta Kerja dengan pertumbuhan investasi di Indonesia. Lantaran, selama ini investasi di Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara-negara lainnya.

"Investasi di Indonesia itu bagus, bingung kan kita. Kenapa saya katakan bagus? Karena pertumbuhan investasi di Indonesia hanya jeblok di tahun-tahun pemilu," ujar Faisal kepada detikcom dalam Podcast Tolak Miskin Episode ke#31 bertajuk 'Kejar Tayang RUU Cipta Kerja Buat Siapa?', Rabu (7/10/2020).

Saat pemilu, investasi di Indonesia cenderung turun. Pada pemilu 2019 misalnya, investasi hanya tumbuh 4,45%. Pada pemilu 2014 juga sama pertumbuhannya sebesar 4,45% bahkan pada pemilu 2009, investasi cuma tumbuh 3,29%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tapi kalau tanpa pemilu, pertumbuhan investasi kita itu di atas China, Malaysia, Thailand, Afrika Selatan, Brazil, bagus. Kita hanya hampir sama dengan India, cuma kalah dengan Vietnam," sambungnya

Dengan pertumbuhan investasi tersebut membuat porsinya dalam PDB terus meningkat, bahkan lebih tinggi ketimbang rata-rata negara berpendapatan menengah-bawah maupun kelompok negara berpendapatan menengah-atas.

ADVERTISEMENT

"Investasi ini sumbangannya ke PDB itu nomor 2 setelah konsumsi masyarakat, konsumsi masyarakat kira-kira 56%, investasinya 34,6% persisnya ya tahun 2018. Nah ini di atas dari rata-rata negara berpendapatan menengah atas. Menengah atas cuma 29,6% kita di atas 30%. Negara berpendapatan menengah ke bawah 26,8% jauh kita di atasnya," tuturnya.

Khusus di ASEAN, Indonesia juaranya. Tak ada yang lebih tinggi dari Indonesia.

"Sebelum era pak Jokowi, tidak pernah investasi kita mencapai 30%, kecuali di era dimulainya di era pak SBY terakhir ya, tapi mampu dipertahankan pak Jokowi selama 5 tahun terakhir investasi itu di atas 30% persisnya 34,6% pada tahun 2018," tambahnya.

Kemudian, di antara negara-negara berkembang Indonesia itu salah satu yang paling diminati. Survei yang dilakukan majalah The Economist yang berpusat di London menunjukkan hampir separuh responden berencana meningkatkan investasinya di Indonesia. Indonesia berada di posisi ketiga di Asia setelah China dan India.

"Menurut The Economist, ada 48,1% dari responden yang menyatakan akan memperluas atau melakukan ekspansi investasi di Indonesia, ekspansi usaha di Indonesia, hampir separuhnya akan melakukan ekspansi usaha, yang tidak akan melakukan investasi tambahan itu 31% kemudian yang akan mengurangi investasi cuma 3,9%. Jadi lebih banyak yang akan meningkatkan investasi," tuturnya.

Di mata China, Indonesia kian menarik. Jika pada tahun 2013 dan 2015 Indonesia di urutan ke-44 dalam China Going Global Investment Index, dalam survei terakhir tahun 2017 posisi Indonesia melesat ke urutan 26.

Publikasi tahunan UNCTAD terbaru, World Investment Report 2020, kian membuktikan reputasi Indonesia cukup menonjol. Indonesia bertengger di kelompok top-20 di dunia untuk urusan foreign direct investment (FDI). Di ASEAN, hanya Indonesia dan Singapura yang masuk kelompok top-20 dunia.

Padahal, Indonesia bisa dikatakan jual mahal terhadap investor asing, dan yang luar biasa, selama ini Indonesia tak pernah sangat bergantung pada investasi asing. Secara sadar Indonesia memasang kawat berduri tertinggi ketiga di dunia setelah Filipina dan Saudi Arabia. Kalau Indonesia ingin dibanjiri investor asing, tebas saja pagar tinggi itu dan enyahkan kawat berduri yang menyelimuti pagar.

"Tak perlu bom atom Omnibus Law, cukup dengan melonggarkan restriksi utamanya, yaitu berupa equity restriction," tegasnya.

(ara/ara)

Hide Ads