Pengusaha: UU Ciptaker Perbaiki Salah Kaprah soal Outsourcing

Pengusaha: UU Ciptaker Perbaiki Salah Kaprah soal Outsourcing

Vadhia Lidyana - detikFinance
Kamis, 15 Okt 2020 15:51 WIB
Ribuan buruh menggelar aksi mogok kerja di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta, Rabu (3/10). Aksi mogok buruh tersebut menuntut penghapusan sistem alih daya (outsourcing) dan kepastian jaminan sosial. File/detikFoto.
Foto: Jhoni Hutapea
Jakarta -

Isu outsourcing menjadi salah satu sorotan dalam kontroversi klaster Ketenagakerjaan dalam Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. UU itu menghapus batasan jenis pekerjaan yang dibolehkan untuk outsourcing, yang sebelumnya ada di UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menanggapi itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, ketentuan outsourcing yang ada dalam UU 13/2003 memang salah kaprah. Sehingga, diluruskan di UU Cipta Kerja ini.

"Dulu juga salah kaprah. Ada 5 sektor yang hanya boleh di-outsource, sekuriti, katering, driver, pekerjaan yang dikaitkan dengan perminyakan, dan kebersihan/cleaning service. Padahal itu di UU 13/2003 adanya di bagian penjelasan sebagai contoh. Tapi karena dinamika politik pada pemerintahan Pak SBY, itu malah ditarik menjadi Permen, yang ini yang boleh di-outsource, ini yang kacau, padahal hanya contoh. Jadi di Cipta Kerja ini dikembalikan, bahwa yang namanya outsourcing ini tidak dibatasi," terang Hariyadi dalam konferensi pers UU Cipta Kerja di Menara Kadin Indonesia, Jakarta, Kamis (14/10/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengatakan, outsourcing di segala jenis pekerjaan adalah hal yang lumrah. Selain itu, menurutnya memang saat ini perekrutan pekerjaan itu dilakukan sesuai spesialisasi.

"Padahal kalau kita melihat secara objektif itu adalah business model. Di seluruh dunia outsourcing itu adalah hal yang lumrah. Karena dunia juga sekarang merujuk pada spesialisasi. Contohnya pabrik otomotif. Nggak ada pabrik motor, mobil, sepeda motor yang bisa bikin dari sekrup, sampai mesin nggak ada. Semua pasti di-outsource," jelas Hariyadi.

ADVERTISEMENT

Ia menegaskan, UU Cipta Kerja ini justru memberikan perlindungan pada pekerja dari perusahaan outsourcing.

"Yang diatur adalah perlindungannya kepada pekerja yang bekerja di perusahaan outsourcing, itu yang harusnya diamankan, itu kita harus menghargai hak-hak normatifnya. Jadi salah kaprahnya itu dibetulkan," tegas dia.

Sebagai informasi, di UU 13/2003 memang ada pasal yang mengatur pembatasan jenis pekerjaan bagi outsourcing,yakni di pasal 65 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:

lanjut ke halaman berikutnya

Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Lalu, di pasal 66 ayat (1) dan (2) juga kembali ditegaskan batasan bagi pekerja outsourcing yang berbunyi:

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;

c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Namun, pasal 65 dihapus di UU Cipta Kerja versi 812 halaman. Ketentuan pasal 66 juga diubah menjadi:

(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(2) Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.

(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.

(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.

(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Ini 7 Poin di UU Ciptaker yang Digugat Partai Buruh ke MK"
[Gambas:Video 20detik]
(zlf/zlf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads