Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja menghapus ketentuan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Ketentuan itu sebelumnya ada di UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 89 ayat (1b).
Sehingga, saat ini hanya ada Upah Minimum Provinsi (UMP) yang tercantum dalam pasal 88C ayat (1) UU Cipta Kerja versi 812 halaman. Sementara, ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) ada di ayat selanjutnya yang hanya bisa ditetapkan dengan syarat tertentu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, melalui UU Cipta Kerja ini maka penetapan upah di luar ketentuan UMP/UMK, misalnya di sektoral hanya bisa ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemberi kerja dengan pekerja (bipartit).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketentuan nanti di atas daripada upah minimum itu memang seharusnya dilakukan pembicaraan bipartit, antara pekerja dan pemberi kerja. Dan itu ada di level perusahaan," kata Hariyadi dalam konferensi pers UU Cipta Kerja, di gedung Kadin Indonesia, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Selanjutnya, pengusaha akan menetapkan skala untuk menyesuaikan jenjang daripada upah itu sendiri.
"Nantinya itu ada ketentuan skala upah, ini adalah untuk mengatur jenjang daripada upah itu nanti seperti apa. Jadi upah minimum tetap ada, di luar itu dibicarakan di level bipartit yang dipandu dengan skala upah yang nantinya akan disepakati bersama," terang Hariyadi.
Menyoroti ketentuan UMK juga diubah, menurutnya memang UMK itu tak bisa disamaratakan atau di seluruh daerah ada. Misalnya saja pada daerah dengan produktivitas yang rendah.
"Jadi tidak bisa disamaratakan. Karena ada daerah yang memang sulit, investasi nggak mau masuk ke situ. Tapi kalau dia dinaikkan terus kan malah tambah ketinggalan. Kan ada beberapa daerah yang seperti itu. Jadi itu yang dilihat, fairness-nya harus kembali ke situ, kepada daerah itu seperti apa. Jadi pada saat investasi yang masuk di situ menjadi lebih baik, dan pertumbuhan ekonominya lebih bagus, nah saat itulah penyesuaian yang lebih akomodatif," imbuh dia.
Oleh sebab itu, menurutnya sudah seharusnya UMK ditetapkan bersyarat.
"Jadi UMK bersyarat, itu maksudnya kalau daerah itu pertumbuhannya jelek, penyerapan tenaga kerjanya jelek. Nah itu tentunya dia tidak bisa mengikuti kenaikan yang normal. Tapi sebaliknya. Kalau daerah itu bagus, pertumbuhannya, penyerapannya bagus ya dia harus naik," ucap Hariyadi.
Sebagai informasi, sebelumnya Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, penghapusan upah minimum sektoral tidaklah adil. Pasalnya, buruh yang bekerja di sektor yang produktivitasnya tinggi harus menerima upah yang disamaratakan dengan sektor yang produktivitasnya rendah.
"Dihapusnya UMSK dan UMSP merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab sektor otomotif atau sektor pertambangan, nilai upah minimumnya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara," kata Iqbal dalam keterangan resmi KSPI, Jumat (9/10/2020).
(zlf/zlf)