Pengusaha ke Buruh: Ancaman PHK di Depan Mata, Tuntut Upah Naik Wajar?

Pengusaha ke Buruh: Ancaman PHK di Depan Mata, Tuntut Upah Naik Wajar?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Sabtu, 31 Okt 2020 13:30 WIB
Ketua Apindo Anton J Supit
Foto: Ari Saputra: Anton J Supit, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial
Jakarta -

Lebih dari 5.000 buruh akan menggelar demonstrasi besar mulai Senin (2/11). Ribuan buruh itu menuntut Upah Minimum Provinsi (UMP) 2021 naik, serta menyerukan lagi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus law).

Merespons hal tersebut, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Antonius Joenoes Supit menyebutkan kondisi dunia usaha dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Melihat situasi begini, kondisi ekonomi yang lagi sulit seperti sekarang, ancaman PHK sudah di depan mata, kira-kira tuntutan kenaikan upah wajar nggak?" tegas pria yang biasa disapa Anton itu kepada detikcom, Sabtu (31/10/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia membeberkan, saat ini 84% perusahaan di Indonesia mengalami penurunan pendapatan. Oleh sebab itu, menurutnya tak relevan jika buruh menuntut kenaikan UMP 2021.

"Kalau demo 84% pendapatan menurun itu, pilihannya hanya sekadar apakah bs bertahan atau melakukan PHK, apakah adil memenuhi tuntutan itu, tapi sebagian daripada kawan-kawan mereka itu kehilangan pekerjaan? Saya pertanyakan kembali pada ke mereka, di mana mereka melihat ini secara adil?" urainya.

ADVERTISEMENT

Ia mengatakan, UMP sendiri adalah bentuk jaringan pengaman sosial (safety net) yang ditujukan terutama bagi pekerja baru. Namun, menurutnya buruh di pabrik-pabrik lebih banyak memperoleh gaji di atas upah.

"Jadi jangan simplifikasi seakan-akan semua mendapat UMP. Kalau bicara UMP, di seluruh pabrik di Indonesia ini, mungkin hanya 10% yang berupah UMP. Setelah itu juga masih ada upah yang tidak ada di Undang-undang (UU), yaitu upah sundulan atau skala upah," jelas Anton.

Ia menegaskan, jika buruh memang merasa harus ada kenaikan gaji, terutama jika buruh itu merasa kompetensinya tinggi, maka bisa dibicarakan dengan manajemen perusahaan, atau bipartit.

Oleh karena itu, ia menilai tuntutan buruh yang diwujudkan dengan aksi ke Kementerian Ketenagakerjaan tidak relevan.

"Gaji itu ya negosiasi, dan bukan dengan pemerintah karena pemerintah hanya mempunyai kewajiban menetapkan UMP. Itu pun dibicarakan tripartit, ada perwakilan buruh," pungkasnya.

(hns/hns)

Hide Ads