Pandangan Guru Besar IPB soal Aturan Impor Buah di UU Cipta Kerja

Pandangan Guru Besar IPB soal Aturan Impor Buah di UU Cipta Kerja

Inkana Putri - detikFinance
Senin, 02 Nov 2020 20:54 WIB
buah tropis
Foto: shutterstock
Jakarta -

Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Muhammad Firdaus menyampaikan intervensi pemerintah dalam proses impor hortikultura yang menerapkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) seperti halnya penerapan di banyak negara maju.

Namun tuntutan dari dua negara pertanian maju yaitu Amerika Serikat dan Selandia Baru, menyebabkan Indonesia harus merevisi 18 macam peraturan, termasuk beberapa Undang-undang terkait. Adapun hal ini sesuai dengan komitmen yang dicanangkan Pemerintah sejak tahun 1994 terkait perjanjian World Trade Organisation (WTO).

"Sebelum ada perubahan pasal pada UU Cipta Kerja, pada tiga prolegnas (UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Pangan dan UU Hortikultura) dinyatakan bahwa impor pangan, termasuk hortikultura, dilakukan hanya jika produksi dalam negeri tidak mencukupi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (02/11/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Firdaus menyebutkan terdapat revisi bahwa pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan dengan memanfaatkan sumber produksi dalam negeri, cadangan pangan, dan impor.

"Ada klausul pada ayat berikutnya bahwa impor tersebut harus memperhatikan kepentingan petani dan nelayan," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Terkait hal ini, ia menjelaskan beberapa negara pertanian lain ada yang menerapkan instrumen seperti tarif, seperti halnya Thailand.

Ia mengatakan rata-rata tarif terapan impor sayuran Thailand jauh di atas Indonesia. Thailand juga lebih dapat menerapkan hambatan seperti TBT karena sudah menerapkan good agricultural practices (GAP) pada orchard-orchard buah yang diregistrasi secara baik.

"Australia sejak awal 2000-an sudah menerapkan berbagai hambatan nontarif untuk impor durian, lengkeng dan manggis, meskipun daerah utara yang ingin dikembangkan buah tropis belum berhasil secara baik dilakukan. Inilah lesson learned yang dapat dipelajari oleh kita dalam kebijakan impor hortikultura," katanya.

Menurutnya, hambatan perdagangan seperti kuota adalah hal yang dapat dikatakan tabu pada perdagangan internasional. Firdaus mengatakan untuk impor buah, tidak ada alasan yang signifikan untuk menerapkan kuota, terlebih pada buah subtropis yang memang tidak secara masif diproduksi di dalam negeri.

"Hambatan kuota masih diterapkan, hanya dengan maksud untuk melindungi kepentingan nasional, seperti untuk komoditi strategis," ungkapnya.

Oleh karena itu, Firdaus mengatakan pemberlakukan kebijakan impor buah tidak bisa disamakan dengan kebijakan komoditas lainnya, terutama komoditas strategis yang berpengaruh pada inflasi. Seperti halnya komoditas strategis yang tidak bisa tergantikan, yakni bawang merah, bawang putih, atau cabe, yang tentunya berbeda dengan buah.

Ia menjelaskan saat harga apel mahal, konsumen segera dapat beralih ke jeruk atau buah lainnya. Dalam hal ini, masyarakat selaku konsumen dapat dengan mudah beralih memilih dan jenis buah lainnya.

"Jadi menganalisis kebijakan impor buah tentu tidak dapat sama dengan impor jagung, gula atau sapi yang sering ditengarai membuka jalan bagi pencari rente. Kebijakan impor pada kurun waktu terakhir sudah terus dibenahi, agar transparansi proses dan perizinan lebih berjalan. UU Cipta Kerja sekiranya dapat memberikan jawaban atas PR (pekerjaan rumah) ini," pungkasnya.

(mul/mpr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads