Inflasi akhirnya terjadi pada bulan Oktober 2020, hal itu memutus rantai deflasi yang sebelumnya terjadi selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli tahun ini. Deflasi yang terjadi pada Juli sebesar 0,10%, lalu Agustus sebesar 0,05%, dan September sebesar 0,05%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan pada Oktober 2020 terjadi inflasi 0,07%. Dengan begitu, maka inflasi tahun kalender atau selama Januari-Oktober sebesar 0,95% dan inflasi tahunannya sebesar 1,44%.
"Sesudah 3 bulan berturut-turut alami deflasi yaitu Juli, Agustus, September, bulan Oktober ini kita mengalami inflasi meskipun tipis yaitu 0,07%," kata Suhariyanto dalam video conference, Jakarta, Senin (2/11/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang akrab disapa Kecuk ini mencatat, inflasi pada Oktober terjadi di 66 kota dari 90 kota yang dipantau otoritas statistik nasional ini. Sementara sisanya, yaitu 24 kota terjadi deflasi.
Dia menyebut, tingkat inflasi tertinggi terjadi di Sibolga yaitu sebesar 1,04% dan yang terendah di DKI Jakarta, Cirebon, Bekasi, dan Jember dengan masing-masing inflasinya sebesar 0,01%.
"Deflasi tertinggi terjadi di Manokwari -1,81 persen," jelasnya. Suhariyanto mengungkapkan, deflasi tinggi yang terjadi di Manokwari disebabkan oleh penurunan tarif angkutan udara. Selain itu, deflasi terendah terjadi di Surabaya.
"Penyebab utamanya, turunnya tarif angkutan udara yang memberikan andil -0,80%. Deflasi terendah surabaya -0,02%," ungkapnya.
Terjadinya inflasi ini apakah menandakan daya beli masyarakat Indonesia sudah mulai meningkat?
Suhariyanto memastikan daya beli orang Indonesia belum meningkat. Hal itu terlihat dari inflasi inti yang sebesar 0,04%. Pada Oktober terjadi inflasi sebesar 0,07% secara bulanan, sementara inflasi tahun kalender atau dari Januari-Oktober sebesar 0,95%, dan inflasi tahun ke tahun (YoY) sebesar 1,44%.
Dilihat menurut komponennya, inflasi inti tercatat 0,04% atau turun dibandingkan September yang sebesar 0,13%. Secara tahun ke tahun pun inflasi inti mengalami penurunan menjadi 1,74% dari bulan sebelumnya yang sebesar 1,86%. Sedangkan untuk harga diatur pemerintah mengalami deflasi 0,15% dan harga pangan bergejolak atau volatile price inflasinya 0,40%.
Dengan data tersebut, Suhariyanto mengungkapkan ada perbedaan antara daya beli pada kelompok masyarakat 40% ke bawah dengan menengah ke atas. Menurut dia, kelompok masyarakat 40% ke bawah yang terkena dampak COVID-19 daya belinya rendah.
"Daya beli di lapisan bawah memang menunjukkan turun tapi menengah ke atas sebetulnya mereka lebih menahan. Jadi dari angka ini kami tidak bisa memilah menurut klasifikasi masyarakat tapi secara umum inflasi inti menunjukkan daya beli memang belum pulih," ungkapnya.