Jakarta -
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut masih ada masyarakat yang menganggap bayar pajak sebagai bentuk penjajahan. Menurut Sri Mulyani, hal ini jadi salah satu yang menyebabkan rendahnya rasio penerimaan pajak di Indonesia.
Akan tetapi, menurut Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, pernyataan itu kurang tepat. Sebab, besar kecilnya penerimaan pajak suatu negara juga tergantung pada siapa saja objek pajaknya.
"Saya kira nggak tepat ya kalau dibilang penjajahan itu, siapa yang jadi objek pajaknya, kan tergantung," ujar Bhima kepada detikcom, Jumat (4/12/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, pemerintah, sambungnya tidak bisa kemudian menjadikan hal itu sebagai alasan. Sebab, pemerintah mungkin saja lebih banyak menarik pajak dari masyarakat berpendapatan rendah ketimbang wajib pajak yang penghasilannya tinggi.
"Tidak bisa kemudian menyalahkan misalkan sesederhana UMKM itu tidak mau membayar pajak karena dianggap bentuk penjajahan jadi jangan-jangan wajib pajak di Indonesia ini enggan membayar pajak karena pemerintah tidak tegas kepada wajib pajak yang kakap," sambungnya.
Berbanding terbalik dengan Bhima, Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang justru satu suara dengan Sri Mulyani. Menurutnya pernyataan Sri Mulyani tersebut bukan tanpa sebab.
Salah satunya karena memang ada sejarah buruk dari sistem penerimaan pajak di Indonesia. Keengganan masyarakat membayar pajak karena dilatarbelakangi oleh kasus penggelapan penerimaan pajak oleh pegawai pajak, seperti dalam kasus Gayus Tambunan.
"Kalau kita mengingat bahwa di masa lampau itu kan beberapa kasus korupsi atau penggelapan itu dilakukan oleh oknum pajak. Nah ini yang kemudian mempengaruhi perspektif masyarakat tentang pajak yang istilahnya tidak terlalu bagus meskipun sebenarnya kalau kita lihat reformasi di pajak itu sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan juga DJP hanya saja kalau saya lihat ini juga tidak terlepas dari perspektif masa lampau," ujar Yusuf.
Hal lainnya yang jadi pemicu adalah karena belum banyak masyarakat yang tahu bahwa fungsi pajak itu sangat besar bagi kemajuan sebuah negara.
"Kenapa ini bisa terjadi karena saya kira memang sosialisasi tentang fungsi pajak dalam APBN itu memang belum terjalin atau tersosialisasikan secara luas oleh kelompok masyarakat khususnya kepada masyarakat pendapatan menengah ke bahwa jadi akhirnya dilihat pajak ini hanya sesuatu yang kemudian menjadi beban, yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat karena kan pendapatan mereka terpotong," tuturnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data Kemenkeu, realisasi rasio pajak pada 2015 mencapai 10,76%, lalu turun secara bertahap pada 2016 menjadi 10,36% dan pada 2017 menjadi 9,89%.
Pada 2018, rasio pajak Indonesia sempat naik 10,24% dan kembali turun ke level 9,76% pada 2019. Pada tahun ini, Kemenkeu memproyeksikan rasio pajak hanya di level 7,9% dan pulih bertahap di level 8,18% pada tahun 2021.