Ekonom senior Faisal Basri menyebut program bantuan sosial dalam bentuk tunai lebih baik ketimbang paket sembako. Bantuan ini tentu membantu penduduk yang terdampak COVID-19.
Pernyataan sudah diungkapkannya sejak lima bulan lalu atau pada awal-awal pemerintah mengalokasikan anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk menangani pandemi COVID-19. Dia mengunggah penjelasannya di website pribadinya.
Mengutip faisalbasri.com, Minggu (6/12/2020), Faisal menyebut pemerintah menyalurkan paket sembako atau bantuan sosial (bansos) sembako senilai Rp 43,6 triliun ditambah sekitar Rp 25 triliun untuk pos logistik/pangan/ sembako sehingga totalnya non tunai mencapai Rp 68,6 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Faisal, dana sebesar Rp 68,6 triliun ini bisa lebih tepat sasaran jika dikonversi dalam bentuk uang tunai. Dia pun mengungkapkan beberapa alasannya jika bansos tunai lebih efektif dibandingkan sembako.
Pertama, dikatakan Faisal, kebutuhan setiap keluarga berbeda-beda. Beras dan gula tidak cocok untuk penderita diabetes. Keluarga yang memiliki balita bisa membeli susu jika diberikan uang tunai. Selanjutnya, penerima juga lebih leluasa memilih barang yang hendak dibelinya sesuai kebutuhan.
"Keleluasaan memilih sirna karena isi paket sembako sama untuk seluruh penerima bantuan. Menurut teori mikroekonomi, pilihan yang lebih banyak akan memberikan kepuasaan lebih tinggi ketimbang bantuan barang," tulis Faisal Basri.
Alasan kedua, dikatakan Faisal, uang tunai bisa dibelanjakan di warung tetangga atau di pasar rakyat/tradisional sehingga perputaran uang di kalangan pengusaha kecil, mikro, dan ultra-mikro bertambah secara signifikan.
"Menambah panjang nafas mereka yang sudah tersengal-sengal diterpa wabah pandemik COVID-19. Maslahat yang diterima mereka lebih merata ketimbang lewat pengadaan terpusat," tulis Faisal.
Ketiga, pengadaan sembako yang terpusat membutuhkan ongkos tambahan seperti untuk transportasi, pengemasan, petugas yang terlibat, serta beragam biaya administrasi dan pelaporan. Akibatnya, dikatakan Faisal akibatnya penerima tidak memperoleh penuh haknya dan tidak sebanyak dana yang dialokasikan.
"Semoga pemerintah segera mengoreksi mekanisme pemberian bantuan," tutup Faisal.
Perlu diketahui, KPK menerangkan korupsi terjadi pada program bansos berbentuk paket sembako dengan nilai kurang lebih Rp 5,9 triliun. Di dalamnya ada total 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak 2 periode.
Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW)sebagai pejabat pembuat komitmen dalam proyek bansos COVID-19 dengan cara penunjukan langsung rekanan. Di dalamnya, disebut ada kongkalikong penentuan fee untuk tiap paket bansos yang disalurkan.
Firli mengatakan, untuk fee tiap paket Bansos disepakati oleh Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial. Keduanya melakukan kontrak pekerjaan dengan supplier yang salah satunya PT RPI yang diduga milik Matheus Joko Santoso.
"Selanjutnya, MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020 dibuatkan kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan yang di antaranya AIM, HS dan juga PT RPI yang diduga milik MJS," papar Firli dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, dini hari tadi.
Bila dilihat dari bentuk bansosnya, diketahui Kemensos melakukan penyaluran bansos sembako di kawasan Jabodetabek. Besarannya Rp 600 ribu per bulan, dibagi dalam dua paket sebesar Rp 300 ribu yang dibagikan per dua minggu sekali.
Bentuknya berupa paket yang berisi sembako yang terdiri dari kebutuhan sehari-hari untuk masyarakat. Dari data Kemensos, per 3 Desember bansos jenis ini penyalurannya sudah mencapai 99,30% dari target.
(hek/dna)