Pria Muda Ini Jadi Miliarder Baru Gara-gara Usaha 'Ngutang'

Pria Muda Ini Jadi Miliarder Baru Gara-gara Usaha 'Ngutang'

Aulia Damayanti - detikFinance
Selasa, 08 Des 2020 12:45 WIB
ilustrasi startup
Ilustrasi/Foto: Internet
Jakarta -

Pria berusia 30 tahun asal Australia berhasil menjadi miliarder meski di tengah krisis pandemi COVID-19. Nick Molnar mendapatkan pundi-pundi uang dari bisnisnya bernama Afterpay atau sejenis platform paylater yang memiliki jargon beli sekarang, bayar nanti.

Statusnya yang kini sebagai miliarder muda ditopang lewat keuntungan pada bisnisnya. Tahun ini, perusahaan teknologi berusia enam tahun itu menjadi salah satu saham terpanas di Australia, usai melonjak 1.300% ke level tertinggi pada November lalu dan menggandakan pengguna aktif menjadi 11,2 juta.

Molnar sendiri menjabat sebagai co-founder dan co-CEO Afterpay. Platform yang dia pimpin adalah sebuah platform pembayaran paylater yang memungkinkan pengguna mengatur biaya pembelian mereka melebihi cicilan reguler dan tanpa bunga. Dalam membangun bisnis Molnar dibantu rekannya, Anthony Eisen.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari CNBC, Selasa (8/12/2020) melonjaknya saham Afterpay menambahkan kepemilikan saham Molnar dan Eisen yang tadinya 20 juta saham masing-masing kini keduanya memiliki sekitar A$ 1,35 miliar saham.

Raksasa teknologi China Tencent dikabarkan telah membeli saham perusahaan lebih dari US$ 200 juta untuk 5% saham Afterpay pada bulan Mei. Morgan Stanley memprediksi Afterpay bisa mencapai sekitar A$ 88 per saham pada akhir tahun ini.

ADVERTISEMENT

Inspirasi bisnis Afterpay muncul saat Molnar duduk masih menjadi mahasiswa perdagangan di University of Sydney. Dia memperhatikan kebiasaan belanja kaum muda berubah. Menurutnya, anak muda semakin tidak berminat dengan kartu kredit, yang dapat berujung pada membengkaknya utang.

Maka Molnar membuat Afterpay yang memungkinkan pembeli membeli barang hingga A$ 1.500 dan dilunasi hingga empat kali cicilan yang sama. Sementara pengecer yang berpartisipasi hanya membayar komisi kecil sekitar 4%-6% pada setiap penjualan.

Jika pengguna melewatkan pembayaran, mereka diblokir dari layanan sampai biaya penuh pembelian mereka lunas.

Setelah Afterpay diluncurkan pada akhir 2014, bisnis ini mengalami pertumbuhan yang cepat. Konsumen yang tidak memiliki uang tunai menyukai model cicilan yang sama, sementara pengecer yang ingin meningkatkan penjualan, dengan senang hati membayar sedikit biaya untuk masuk ke platform.

Dalam dua tahun, Afterpay berhasil mengumpulkan hampir A$ 25 juta di Bursa Efek Australia dalam penawaran umum perdana yang kelebihan permintaan.

Namun, pertumbuhan pesat Afterpay belum sepenuhnya diterima dengan baik. Kritikus berpendapat bahwa perusahaan mendorong belanja konsumen yang berlebihan dan tidak berkelanjutan.

"Di satu sisi, kami dapat memposisikannya sebagai bagaimana platform Afterpay memungkinkan konsumen untuk lebih sadar dan berhati-hati tentang pengeluaran mereka. Tapi kemungkinan orang juga bisa berbelanja lebih banyak dari kemampuan keuangannya, " kata Hianyang Chan, konsultan senior di Euromonitor, Sydney.

Saat ini platform seperti Afterpay, Affirm dan Klarna berada di luar undang-undang kredit konsumen di sebagian besar negara.

Molnar menjelaskan Afterpay saat ini sedang berdiskusi dengan regulator untuk menyelesaikan masalah tersebut. Afterpay melaporkan selama 2020, 90% transaksinya dibayar tepat waktu. Secara keseluruhan, biaya keterlambatan bayar kurang dari 14% dari total pendapatan perusahaan.

Pada tahun 2020, pendapatan perusahaan berlipat ganda menjadi US$ 382 juta dan kerugian hampir setengahnya menjadi US$ 16,8 juta. Molnar ingin fokus untuk memperluas penggunaan Afterpay. Target utama perusahaan masuk ke AS, Inggris, dan Eropa.

Molnar pun berencana untuk pindah ke AS untuk memimpin ekspansi internasional Afterpay, sementara co-CEO-nya, Eisen, akan terus berbasis di Australia.


Hide Ads