Pemerintah mengubah tarif pungutan ekspor sawit (levy) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 191 tahun 2020. Dalam PMK itu, pungutan ekspor akan naik secara berkala jika harga referensi CPO (crude palm oil) juga naik. Dengan PMK baru, pungutan ekspor CPO berada di rentang US$ 55-255 per ton, menyesuaikan harga.
Merespons aturan yang baru diteken pada 3 Desember 2020 lalu itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Agam Faturrochman meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kenaikan pungutan ekspor tersebut.
Ia menerangkan, para pelaku di industri sawit berharap kenaikan harga CPO yang terjadi saat ini bisa digunakan sebagai kompensasi ketika harga anjlok hingga menyentuh MYR 2.064/metrik ton pada 21 April lalu menurut bursa berjangka Malaysia. Angka itu terendah sejak Agustus 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika harga sekarang baik, naik tinggi bagaimana bisa mengkompensasi yang jatuh sekali itu. Tapi sekarang malah dikenakan pungutan yang tinggi sekali.
jadi sepertinya mohon di-review kebijakan ini, didiskusikan dengan stakeholder juga," ungkap Agam dalam konferensi pers virtual sosialisasi PMK 191 tahun 2020, Selasa (8/12/2020).
Selain mempertimbangkan kenaikan pungutan ekspor, ia juga meminta pemerintah menghapuskan bea keluar (duty) ekspor sawit yang juga dipungut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ia berpendapat, jika bea keluar digunakan untuk hilirisasi industri sawit, maka tujuannya sama saja dengan pungutan ekspor.
"Yang paling utama dapat dilakukan segera adalah bea keluar tidak dipungut atau dihilangkan sama sekali. Karena tujuan bea keluar kan untuk hiliriasi, stabilisasi harga minyak goreng itu kan sudah diambil alih BPDP. Bagaimana itu dijamin bahwa itu dapat dihilangkan, kemudian untuk pungutan ekspor dapat di-review dan didiskusikan dengan perusahaan dan petani," tegas Agam.