Terletak di utara Indonesia, berbatasan langsung dengan wilayah Kuching, Malaysia, Kabupaten Sambas ternyata memiliki potensi alam yang jarang diketahui oleh banyak orang. Oleh masyarakat luar, Kabupaten Sambas mungkin hanya dikenal sebagai sentra produksi karet dan sawit. Namun dalam beberapa tahun terakhir, investasi rumah walet di wilayah tersebut kian digandrungi.
Rumah walet adalah bangunan semacam gudang yang dibuat warga sekitar untuk burung walet membuat sarang. Mereka sengaja membangun rumah tersebut agar bisa menjadi tempat bersarang para burung walet. Sarang burung tersebut lah yang nantinya dipanen dan dijual sehingga menghasilkan pundi-pundi uang. Membuat rumah walet sudah dianggap sebagai investasi.
Ketika berkunjung ke Kecamatan Galing, Kabupaten Sambas, detikcom berkesempatan bertemu dengan salah satu pemilik rumah walet, Agus Supriadi (28). Ia mengaku dalam sekali panen sarang walet, bisa mendapatkan hingga Rp 15 juta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Satu kali panen 1-2 kilo ada lah, 3-4 bulan satu kali panen, itung-itung kasarnya lah, sempat tinggi juga, sampai Rp 15 juta (per kg)," kata Apen, sapaan akrabnya kepada detikcom baru-baru ini.
Namun ia mengatakan keuntungan tersebut tak bisa dijadikan patokan, sebab harga sarang walet mirip seperti mata uang dolar yang bisa naik dan bisa juga turun, tergantung harga pasar.
"Dulu sempat anjlok Rp 3 juta (per kg), malahan waktu itu sempat nggak berani orang (beli), dulu sih, tapi untuk berapa bulan ini Rp 10-11 juta lah," katanya lagi.
Apen mengatakan memiliki rumah walet sebagai investasi jangka panjang. Untuk membangun satu rumah walet ia membutuhkan dana Rp 200 juta. Dana tersebut untuk membeli tanah dan membangun rumah walet berukuran luas 6x8 meter dengan tinggi sekitar 7-9 meter.
"Kalau untuk bangunan kan tergantung bahan kan kalau kita pribadi bahan bangunan beton Rp 200 juta plus tanah sudah sama gaji tukang, tapi sekarang sudah banyak ada yang bahannya lebih murah," ungkapnya.
![]() |
Setelah jadi, selanjutnya bangunan tersebut dipasangi speaker yang memancarkan suara burung walet. Tujuannya untuk mengundang burung-burung walet yang ada di sekitar wilayah tersebut untuk singgah dan membuat sarang di dalam rumah walet yang dibuat.
"Nggak nyala 24 jam karena (ada waktu) khusus, paling nyala pagi sampai jam 7 malam, sampai tengah malam sudah mati semua lah," katanya.
Dengan rumah walet berukuran 6x8 meter dan tinggi 7-9 meter, rumah walet milik Apen bisa menampung 200-300 ekor burung walet. Setiap 4 bulan sekali dari satu rumah walet ia bisa menghasilkan 120-130 sarang walet atau setara 1-2 kg.
Menurut penuturan Apen, di Kecamatan Galing dan Kecamatan Sajingan Besar burung walet yang berkeliaran cukup banyak dan merata, sehingga tak sulit untuk berinvestasi di bidang ini.
Selain itu pada masa pandemi ini Apen mengatakan tak terlalu berpengaruh pada permintaan sarang walet dari tengkulak setempat. Harganya pun masih stabil di kisaran Rp 10-11 jutaan. Ditambah karena ia menjadi Agen BRILink untuk mendapat tambahan pemasukan.
"Syukurlah ada BRILink, banyak juga transaksi, yang banyak tarik tunai, transfer, istilahnya bayar iuran PLN karena kita termasuk boleh dikatakan agak aktif, kalau untuk bulanan Rp 5-6 jutaan (keuntungannya) dari BRILink, ada," kata Apen.
Agus menjadi salah satu dari 16 Agen BRILink yang tersebar di Kecamatan Galing dan Kecamatan Sajingan Besar di bawah naungan BRI Unit Galing. Di ulang tahun yang ke-125, BRI dengan tema BRILian hadir di perbatasan untuk memudahkan masyarakat melakukan transaksi perbankan, salah satunya dengan menghadirkan Agen BRILink.
Di masa yang serba sulit ini BRI juga berperan menyelamatkan UMKM-UMKM terdampak pandemi, mulai dari memberikan restrukturisasi kredit, subsidi bunga, hingga menyalurkan bantuan dari Pemerintah seperti BPUM dan BSU.
Ikuti terus jelajah Tapal Batas detikcom bersama BRI di tapalbatas.detik.com!
(prf/hns)