Sebuah kecelakaan nahas di tahun 2013 mengubah alur hidup Ade Sanjaya. Ia harus kehilangan sebelah kaki dan bisnisnya yang sudah cukup berkembang runtuh seketika.
Saat kemalangan itu terjadi, Ade menggeluti usaha penjualan ikan, udang, dan sebagainya. untuk beberapa rumah makan. Dari bisnis tersebut ia mampu membeli mobil untuk menunjang kegiatan usahanya.
Kehilangan sebelah kaki dan bangkrut memaksa Ade memulai hidup dari nol, bahkan boleh dikatakan minus. Ia kebingungan harus melakoni usaha apa dengan kondisi fisik yang tak lagi sempurna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suatu hari, ia melihat seorang kawan memproduksi riasan kepala dari alumunium. Riasan kepala tersebut berbentuk layaknya mahkota dengan ukiran cantik. Ade pun tertarik untuk terjun menjadi pengrajin riasan kepala yang belakangan diketahui bernama sugu tinggi. Benda tersebut merupakan aksesori khas suku Iban.
Bermodal uang RP 150 yang tersisa di tabungan ia membeli bahan baku pembuatan sugu tinggi, seperti alumunium, timah, dan sebagainya. Namun, di percobaan pertama Ade gagal total untuk membuat sugu tinggi.
"DI awal itu saya minta diajarkan sama kawan ajarkan saya, tapi mereka tidak mau. Begitu saya datang malah berhenti (membuat sugu tinggi). Akhirnya saya belajar sendiri, otodidak. Pertama kali coba itu satu lembar alumunium semua hancur, tangan saya juga kepukul martil. Akhirnya saya pinjam alat punya teman yang datang," kisah Ade kepada detikcom beberapa waktu lalu.
Meski tak mudah, Ade dengan tekun mempelajari pembuatan sugu tinggi. Lambat laun ia semakin cakap membuat sugu tinggi dengan kualitas bagus.
Untuk memasarkan sugu tinggi, Ade dan pengrajin sugu tinggi lainnya tidak perlu berkeliling ke toko-toko. Sebab, ada pengepul dari Malaysia yang siap menampung produk kerajinan tersebut. Satu set sugu tinggi lengkap dengan hiasannya dibeli pengepul (tokei) seharga 20 ringgit.
"Ya dari sugu tinggi ini saya bisa melanjutkan hidup. Sampai akhirnya bisa beli satu rumah," ungkap Ade.
![]() |
Pengrajin sugu tinggi lainnya, Sumiwati juga memetik hasil yang manis. Ia bersama suami menekuni pembuatan sugu tinggi sejak tahun 2002 dan mengekspor produk tersebut ke beberapa daerah di Malaysia, seperti Lubuk Antu, Sarikei, dan daerah lainnya melalui jalur darat.
"Di Malaysia itu permintaan cukup banyak, untuk acara pernikahan, di sekolah, atau acara adat lainnya," kata Sumiwati.
"Ya sebulan itu bisa lah dapat bersih 3-4 juta (rupiah). Dari sugu tinggi inilah saya dan suami bisa punya rumah, punya mobil," sebut dia.
Baik Ade dan Sumiwati sepakat adanya fasilitas KUR dari BRI membantu mereka dalam mengembangkan usaha. Dengan KUR, mereka memiliki modal tambahan untuk memproduksi sugu tinggi dan membuka usaha lain di masa pandemi. Sebab, permintaan sugu tinggi tengah menurun.
"Jadi ceritanya ini saya kekurangan modal, akhirnya ajukan KUR ke BRI. Dari KUR itu saya buat warung makan kecil-kecilan dengan istri. Alhamdulillah hasilnya sudah terlihat sekarang. Dan saya juga mau ambil karyawan untuk bantu buat sugu tinggi," kata Ade.
Sementara itu, Sumiwati memilih membuka usaha warung kelontong dan minuman ringan di teras rumahnya. Penghasilan dari usaha tersebut dimanfaatkannya untuk menyambung hidup di masa pandemi.
"Ya modal dari KUR itu diputar-putar lagi. Yang penting kan ada pemasukan buat biaya hidup sama bayar kredit," ungkap Sumiwati.
Di ulang tahun yang ke-125 pada tahun ini, BRI hadir di perbatasan dengan tema BRILian memudahkan masyarakat melakukan transaksi perbankan, termasuk bagi masyarakat Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu. BRI juga menghadirkan KUR hingga menyalurkan BPUM untuk membantu UMKM sekitar.
detikcom bersama BRI mengadakan program Tapal Batas yang mengulas mengenai perkembangan infrastruktur, ekonomi, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan khususnya di masa pandemi. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus beritanya di tapalbatas.detik.com.
(akn/dna)