Jakarta -
Harga kedelai yang melambung tinggi sempat membuat para pengrajin tahu tempe melakukan aksi unjuk rasa dengan mogok produksi pada awal tahun ini. Produk berbahan dasar kedelai seperti tahu dan tempe juga sempat menghilang dari pasaran.
Namun, setelah aksi tersebut Kementerian Perdagangan menyebut stok kedelai nasional masih mencukupi untuk kebutuhan industri tahu dan tempe nasional. Sesuai data Asosiasi Importir Kedelai (Akindo), para importir menyediakan stok kedelai di gudang importir sekitar 450 ribu ton.
Apa ya penyebab naiknya harga kedelai ini?
Country Director Consultant to U.S. Soybean Export Council Eddy Wiyono mengungkapkan kenaikan harga ini disebabkan oleh faktor global seperti supply and demand. Dia menjelaskan Amerika Serikat (AS), Brasil dan Argentina merupakan produsen kedelai terbesar di dunia dan menguasai pasar hingga 90%.
Namun hanya AS yang sedang panen kedelai dan punya cadangan untuk ekspor. Musim panas yang terlalu kering hingga bencana angin topan mengakibatkan produksi kedelai AS lebih rendah dari yang diprediksi. Kemudian persediaan kedelai Brasil dan Argentina menipis sehingga harus memenuhi kebutuhan domestik.
"Selain itu, harga komoditas kedelai di Bursa Berjangka Chicago juga naik.Begitu halnya biaya logistik atau angkutan kapalnya juga naik. Hal ini bisa dipahami karena selama pandemi, kapal-kapal China tidak bisa berangkat (pulang pergi) ke Amerika karena lockdown sehingga terjadi delay dan pasokan barang terbatas," kata Eddy dalam keterangannya, Sabtu (9/1/2021).
Dia mengungkapkan selain masalah ketersediaan barang, permintaan dari China terhadap kedelai AS juga naik tajam. Hal ini karena China sedang berusaha untuk memenuhi janji kepada Presiden Trump untuk membeli kedelai lebih banyak dari AS. Selain itu AS juga sedang membutuhkan banyak kedelai untuk mendukung program peningkatan populasi babi sebanyak 130 juta ekor.
Eddy mengungkapkan saat ini pasokan kedelai nasonal diprakirakan masih aman untuk memenuhi kebutuhan kedelai rata-rata 2,5 - 2,6 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, 90% dipenuhi oleh kedelai impor dan 10% kedelai lokal. Konsumen tempe dan tahu terbesar di Tanah Air berada di Pulau Jawa 85% dan 15% tersebar di Pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.
"Rata-rata importir menyediakan stok 1-2 bulan, jadi aman hingga Februari 2021. Bagaimana setelah itu? Saya perkirakan masih terjaga karena tahun 2021 kondisinya lebih baik dari 2020. Tren data pengapalan kedelai di pelabuhan terus meningkat sejak September hingga Desember 2020 dari 730 ribu ton menjadi 760 ribu ton," jelas dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto mengungkapkan faktor utama penyebab kenaikan harga kedelai dunia akibat lonjakan permintaan kedelai dari China kepada AS selaku eksportir kedelai terbesar dunia.
Pada Desember 2020, permintaan kedelai China naik 2 kali lipat dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kontainer di beberapa pelabuhan AS, seperti di Los Angeles, Long Beach, dan Savannah sehingga terjadi hambatan pasokan terhadap negara importir kedelai lain termasuk Indonesia.
"Untuk itu perlu dilakukan antisipasi pasokan kedelai oleh para importir karena stok saat ini tidak dapat segera ditambah, mengingat kondisi harga dunia dan pengapalan terbatas. Penyesuaian harga dimaksud secara psikologis diperkirakan akan berdampak pada harga di tingkat importir pada Desember 2020 sampai beberapa bulan mendatang," jelas Suhanto.
Sekadar informasi sejak November 2013 hingga Februari 2020 harga Rp 7.500/kg. Itu berarti selama 7 tahun harganya stabil. Gonjang ganjing baru terjadi saat pandemi COVID-19 Maret 2020 ketika China memborong kedelai Amerika dan terjadi gangguan pengiriman kapal karena lockdown atau physical distancing.
Akibatnya, stok atau pasokan kedelai di pasaran terbatas. Apalagi harga kedelai di Bursa Chicago biasanya US$ 9/gantang menjadi US$ 13/gantang (1 ton=36 gantang). Dampaknya, harga kedelai di Indonesia pun merangsek dari Rp 8.000-an/kg ke angka Rp 9.000-an/kg sekarang.
Selain itu, perkembangan harga kedelai di Indonesia selama November 2019 - Juli 2020, lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS. Nilai kurs Rupiah terhadap Dollar AS relatif stabil, bahkan menguat sejak awal Agustus 2020. Sayangnya, harga kedelai di pasar global meningkat tajam sejak Agustus 2020 yang berdampak pada kenaikan harga kedelai di Indonesia.
Ketua Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta, Sutaryo, mengatakan pemerintah telah melakukan operasi pasar di Sentra Semanan Jakarta pada Kamis (7 Januari 2021) sementara operasi di wilayah Jakarta Selatan telah dilakukan sejak Selasa (5 Januari 2021).
Sutaryo menuturkan kejadian ini bukan pertama kali. Tahun 2008 terjadi gejolak harga kedelai impor dari Rp3.300 ke Rp6.000 sehingga tukang tempe tidak produksi. Harga naik lagitahun 2013. Kini, pada 2020 terjadi kembali.Masalahnya sama, soal tidak adanya ketahanan pangan. Di sisi lain, pasar dunia mementingkan stok barang, supply & demand.
"Amerika senang kedelainya diborong oleh China. Kebutuhan kedelai China sekitar 90 juta ton per tahun, sedangkan Indonesia 2,6 juta ton setahun," jelas Sutaryo.