Kedelai Lokal Ternyata Lebih Gurih daripada Impor, tapi...

Kedelai Lokal Ternyata Lebih Gurih daripada Impor, tapi...

Vadhia Lidyana - detikFinance
Selasa, 12 Jan 2021 14:25 WIB
Para perajin tahu dan tempe yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia (Gakoptindo) mendapatkan jatah impor kedelai sebesar 125.000 ton di 2013. Jumlah ini jauh lebih besar dari perhitungan awal yang hanya diberikan 20.000 ton. (Foto: Rachman Haryanto/detikFoto)
Ilustrasi/Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan pada November 2020 lalu kebutuhan kedelai nasional mencapai sekitar 2-3 juta ton per tahun. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), 90% dari kebutuhan kedelai nasional dipasok oleh kebutuhan impor, dan hanya 10% sisanya yang dipasok oleh kedelai lokal.

Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin mengatakan, produksi kedelai lokal dalam setahun hanya mencapai sekitar 300.000 ton. Hasil produksi itu pun langsung diserap oleh para perajin tahu dan tempe.

"Kedelai lokal yang 300.000 ton produksinya itu satu tahun, itu diserap oleh kami, perajin tempe dan tahu," kata Aip kepada detikcom, Selasa (12/1/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia memaparkan, produksi kedelai hanya ada di segelintir wilayah di Indonesia seperti Bogor dan Sulawesi. Oleh sebab itu, kedelai tersebut hanya diserap oleh perajin tahu dan tempe setempat.

"Jadi di mana itu ada kedelai lokal ditanam, di situ diambil. Misalnya di Cianjur, di Bogor yang dekat. Kalau di Sulawesi, diambil oleh perajin setempat. Karena kalau diangkut ke Jakarta semua repot ongkosnya. Jadi diserapnya di lokasi di mana ia ditanam," ungkap Aip.

ADVERTISEMENT

Perajin tahu dan tempe, terutama di kawasan yang tak memiliki petani kedelai memang dipasok sepenuhnya dari importir. Meski begitu, menurut Aip sebenarnya kedelai lokal jauh lebih gurih dan enak untuk dikonsumsi. Dari sisi gizi pun lebih tinggi kedelai lokal daripada impor.

"Kalau kedelai lokal jauh lebih bagus dipakai untuk tahu. Lebih gurih, lebih harum, lebih enak. Dan dimasaknya lebih cepat matang, karena masih fresh, kulitnya masih tipis, belum keras. Dan gizinya lebih tinggi dibandingkan kedelai impor. Itu Sucofindo dan IPB yang menyatakan dari hasil laboratorium. Untuk tempe bagus juga, sama," terang Aip.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Namun, khususnya untuk tempe, ukuran kedelai lokal yang lebih kecil ketimbang kedelai impor memang membuat hasil produksi tempe berbeda, sehingga para perajin lebih memilih kedelai impor daripada lokal untuk membuat tempe.

"Cuma beda tempenya. Karena biji kacang kedelai lokal itu kan kecil-kecil. Jadi berbeda ukuran biji yang di tempe. Karena ukuran kedelai lokal kan lebih kecil daripada kedelai impor. Khusus tahu lebih suka kedelai lokal. Tempe lebih suka kedelai impor," tutur Aip.

Namun, menurut Aip hal itu bisa dituntaskan jika pemerintah memberikan bimbingan kepada petani untuk menanam kedelai yang lebih bagus lagi kualitasnya. Selain itu, menurutnya upaya itu bisa mendorong minat petani menanam kedelai, yang selama ini masih sangat minim.

Dari sisi harga, kedelai lokal sebenarnya sangat murah. Namun, hal itulah yang membuat para petani kurang tertarik menanam kedelai karena marginnya sangat tipis.

"Harga karena kedelai lokal tidak standar, kecil-kecil, kadang-kadang muda, kadang tua, dan kedelai lokal ini memang kurang pembinaan dari pemerintah, sehingga harganya ada yang dijual Rp 5.500-6.500 per kilogram (kg). Jadi petani lokal tidak tertarik. Mereka tidak mau tanam kedelai, mendingan tanam padi atau jagung," papar dia.

Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah mulai menyoroti dan memberi bimbingan terkait produksi kedelai, agar semakin banyak petani yang mau menanam kedelai. "Jadi memang dibutuhkan bimbingan dari pemerintah," pungkas Aip.


Hide Ads