Pembangkit Nuklir Harus Segera Dikembangkan
Selasa, 07 Feb 2006 18:08 WIB
Jakarta - Rencana diversifikasi energi dengan menggunakan batubara dalam jumlah besar bagi pembangkit listrik akan menimbulkan persoalan lingkungan. Karena itu pembangunan pembangkit nuklir menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Teknologi nuklir juga dinilai menjadi sebuah pilihan tepat, seiring makin menipisnya cadangan minyak dan gas. Gas yang saat ini digembar-gemborkan sebagai energi alternatif, lambat laun akan habis juga sehingga tidak akan mampu mencukupi kebutuhan listrik di masa yang akan datang. Hal tersebut terungkap berdasarkan hasil studi pendahuluan untuk memenuhi kebutuhan listrik di sistem Jawa-Bali hingga tahun 2025 yang dipaparkan staf ahli PT PLN (Persero) Eden Napitupulu dalam seminar di Hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (7/2/2006)."Optimum solution akan didominasi oleh PLTU batubara dengan pangsa lebih dari 85 persen total produksi listrik. Hal ini dikhawatirkan akan mencemari lingkungan karena akan membakar batubara 100 juta ton per tahun pada 2020 dan 126 juta ton per tahun pada 2025," paparnya.Karena itu dia menilai jalan keluar yang tidak mungkin ditawar untuk meringankan beban lingkungan akibat kemungkinan polusi batubara adalah melakukan optimisasi ulang dengan mulai membangunan PLTN mulai 2014. Berdasarkan rencana kerja pemerintah hingga tahun 2025, mulai tahun 2014 akan dimulai pembangunan PLTN sebanyak 1x1000 MW per tahun. "Ternyata hasilnya menjadi sub-optimum dengan kenaikan total biaya sekitar 0,3 persen, jauh lebih kecil dari ketelitian metode yang digunakan," katanya. Bahkan dengan peralihan dari pembangkit batubara ke PLTN, peranan PLTU batubara yang dikhawatirkan menimbulkan polusi lingkungan akan dapat ditekan hingga mencapai 70 persen.Hasil studi optimalisasi pembangklit listrik memang tidak menunjukkan PLTN merupakan bagian dari optimum solution sebab masa depan pembangkitan Jawa-Bali akan didominasi oleh PLTU batubara. Peranan PLTU batubara pada 2013 lebih dari 60 persen, mulai tahun 2018 porsi energi batubara mencapai lebih dari 85 persen, akibatnya pada 2020 kebutuhan batubara mencapai 100 juta ton per tahun dan 2025 akan mencapai 126 juta ton per tahun. Namun memang pembangunan PLTN membutuhkan biaya konstruksi yang cukup besar hingga mencapai US$ 1.700 per Kw, jauh di atas biaya konstruksi PLTU yang hanya US$ 1.000 per Kw. Karena itu, lanjutnya, perlu dilakukan pengendalian biaya finansial PLTN dengan pembangunan yang ketat dan tepat waktu serta pembangunan beberapa unit standar sekaligus secara serial. "Usaha standarisasi desain reaktor kepastian (predictable) dan kelancaran proses lisensi oleh regulator dan public acceptance akan menurunkan risiko dan biaya finansial," katanya.Aturan InternasionalSementara, Marius Condu dari Departement of Nuclear Energy International Atomic Energy Agency (IAEA) menyatakan pembangunan PLTN harus benar-benar mengikuti standar dan aturan internasional demi menjaga keamanan bersama.Dia mencontohkan kasus melelehnya reaktor nulir di Three Mile Island 1979 dan bocornya Chernobyl pada 1986 yang mengakibatkan 4.000 bayi terkena kanker, 4.000 orang tewas dan 800.000 ha lahan pertanian tercemari.Sementara dalam kasus Three Mile Island, dibutuhkan waktu 12 tahun untuk melakukan perbaikan lingkungan yang menghabiskan biaya mencapai US$ 973 juta pada tahun 1979. "Karena itu, persoalan keamanan menjadi persoalan utama bagi pembangunan PLTN, jangan sampai ada prosedur keamanan yang dilewatkan karena menyangkut kehidupan masyarakat banyak," ungkapnya.Marius menyatakan, meskipun demikian, selama prosedur dan standar pembangunan PLTN dapat dipenuhi dengan baik maka persoalan keamanan menjadi lebih terjamin. Sejak dua kasus tersebut memang hingga saat ini belum tercatat kejadian kecelakaan PLTN dalam skala besar yang mencemaskan publik.
(mar/)