Sri Mulyani Ungkap 6 Kelemahan Tata Kelola Uang Papua dan Papua Barat

Sri Mulyani Ungkap 6 Kelemahan Tata Kelola Uang Papua dan Papua Barat

Hendra Kusuma - detikFinance
Selasa, 26 Jan 2021 14:48 WIB
Pemerintah menaikkan pajak impor barang konsumsi. Pengumuman kenaikan pajak impor barang konsumsi itu dilakukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (5/9/2018).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati/Foto: Istimewa/Kementerian Keuangan
Jakarta -

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan tata kelola keuangan pemerintah Papua dan Papua Barat masih lemah. Hal itu juga yang menjadi penyebab dua daerah tersebut masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi lainnya.

Padahal, Papua dan Papua Barat telah mendapatkan dana otonomi khusus (otsus) yang sangat besar. Dalam periode 2002-2021, pemerintah sudah menyalurkan dana otsus dan dana tambahan infrastruktur (DTI) mencapai Rp 138,65 triliun.

Sri Mulyani mengatakan lemahnya tata kelola keuangan Papua dan Papua Barat terlihat dari enam aspek. Aspek pertama tingkat kepatuhan penyampaian APBD.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekitar 33% pemda di Papua dalam tiga tahun terakhir masih belum memenuhi kepatuhan penyampaian APBD. Sementara di Papua barat ada sekitar 29% pemda," kata Sri Mulyani saat rapat kerja (raker) antara Menteri Keuangan dengan Komite I DPD RI tentang RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 yang dilaksanakan secara virtual, Selasa (26/1/2021).

Aspek kedua, dari administrasi keuangan yang belum optimal. Pada periode 2014-2018, Papua mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Namun, jika dilihat lebih dalam lagi ada sekitar 51,7% kabupaten/kota yang mendapatkan opini disclaimer dan adverse pada tahun 2018. Sedangkan di Papua Barat ada 38,5% kabupaten/kota berstatus wajar dengan pengecualian (WDP).

ADVERTISEMENT

"Itu berarti ada yang disebut administrasi kepatuhan, standar akuntansi, dan pelaporan yang tidak terpenuhi, atau ada suatu kasus isu yang menyebabkan mereka adverse atau disclaimer," jelas Sri Mulyani.

Aspek ketiga, dari sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) yang masih tinggi. Untuk Papua, tercatat rata-rata dana otsus selama 7 tahun terakhir sebesar Rp 528,6 miliar dan DTI sebesar Rp 389,20 miliar. Khusus di tahun 2019 mencapai Rp 1,7 triliun. Sedangkan di Papua Barat, rata-rata sisa dana otsus selama 7 tahun terakhir sebesar Rp 275,2 miliar dan DTI sebesar Rp 109,1 miliar. Khusus di tahun 2019 mencapai Rp 370,7 miliar.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Aspek keempat, mengenai governance yang lemah. Aspek ini berdasarkan nilai monitoring center yang dilaporkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Provinsi Papua mendapat nilai 34% atau menjadi yang terendah kedua. Sementara Papua Barat mendapat nilai 31% atau terendah pertama.

Aspek kelima, Sri Mulyani mengatakan tata kelola keuangan Papua dan Papua Barat lemah dilihat dari kekosongan regulasi. Tercatat di Papua ada 4 dari 13 Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan 5 dari 18 Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang belum ditetapkan. Sedangkan di Papua Barat, ada 4 dari 13 Perdasus dan 12 dari 18 Perdasi yang belum ditetapkan.

Aspek keenam, yaitu dilihat dari belanja pendidikan dan kesehatan yang masih rendah. Untuk Provinsi Papua tercatat anggaran untuk pendidikan sebesar 13,8% dan kesehatan sebesar 8,7%. Sedangkan Papua Barat, anggaran pendidikan sebesar 14,33% dan kesehatan sebesar 7,6%.

"Dibutuhkan monitoring evaluasi yang lebih efektif untuk Papua sendiri. Karena dana ini disediakan untuk perbaikan kesejahteraan Papua," katanya.

"Jadi perlu ada perbaikan perencanaan dan permintaan anggaran dan eksekusinya," sambung Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.


Hide Ads