Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan tata kelola keuangan pemerintah Papua dan Papua Barat masih lemah. Hal itu juga yang menjadi penyebab dua daerah tersebut masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi lainnya.
Padahal, Papua dan Papua Barat telah mendapatkan dana otonomi khusus (otsus) yang sangat besar. Dalam periode 2002-2021, pemerintah sudah menyalurkan dana otsus dan dana tambahan infrastruktur (DTI) mencapai Rp 138,65 triliun.
Sri Mulyani mengatakan lemahnya tata kelola keuangan Papua dan Papua Barat terlihat dari enam aspek. Aspek pertama tingkat kepatuhan penyampaian APBD.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekitar 33% pemda di Papua dalam tiga tahun terakhir masih belum memenuhi kepatuhan penyampaian APBD. Sementara di Papua barat ada sekitar 29% pemda," kata Sri Mulyani saat rapat kerja (raker) antara Menteri Keuangan dengan Komite I DPD RI tentang RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 yang dilaksanakan secara virtual, Selasa (26/1/2021).
Aspek kedua, dari administrasi keuangan yang belum optimal. Pada periode 2014-2018, Papua mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Namun, jika dilihat lebih dalam lagi ada sekitar 51,7% kabupaten/kota yang mendapatkan opini disclaimer dan adverse pada tahun 2018. Sedangkan di Papua Barat ada 38,5% kabupaten/kota berstatus wajar dengan pengecualian (WDP).
"Itu berarti ada yang disebut administrasi kepatuhan, standar akuntansi, dan pelaporan yang tidak terpenuhi, atau ada suatu kasus isu yang menyebabkan mereka adverse atau disclaimer," jelas Sri Mulyani.
Aspek ketiga, dari sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) yang masih tinggi. Untuk Papua, tercatat rata-rata dana otsus selama 7 tahun terakhir sebesar Rp 528,6 miliar dan DTI sebesar Rp 389,20 miliar. Khusus di tahun 2019 mencapai Rp 1,7 triliun. Sedangkan di Papua Barat, rata-rata sisa dana otsus selama 7 tahun terakhir sebesar Rp 275,2 miliar dan DTI sebesar Rp 109,1 miliar. Khusus di tahun 2019 mencapai Rp 370,7 miliar.
Berlanjut ke halaman berikutnya.