Belajar dari Kasus Eiger, Ini yang Harus Dilakukan Brand Agar Tak 'Blunder'

Belajar dari Kasus Eiger, Ini yang Harus Dilakukan Brand Agar Tak 'Blunder'

Anisa Indraini - detikFinance
Jumat, 29 Jan 2021 11:55 WIB
Eiger Kerato
Foto: Eiger
Jakarta -

Eiger sedang jadi perbincangan hangat di media sosial karena kecerobohan (blunder) merespons konsumen dengan mengirim 'surat cinta' atau protesnya ke Youtuber karena telah review produknya di channel YouTube. Kesalahan itu berujung viral dan mendapat kecaman dari netizen hingga permintaan maaf dari Eiger.

Pakar Marketing, Yuswohady mengatakan kasus Eiger dengan Youtuber itu disebut era marketing horizontal, di mana kekuatan konsumen sangat besar dengan adanya media sosial. Hal inilah yang harus jadi perhatian para brand agar tidak sembarang merespons konsumen.

"Dengan kondisi begini brand itu harus sadar, harus matang, harus tahu kondisinya, jadi ini bukan dulu lagi. Artinya orang itu punya kemampuan yang luar biasa untuk memberikan pendapat apapun mengenai brand dan didengar oleh konsumen lain, sehingga brand itu harus tunduk ke customer, artinya nggak bisa menentang konsumen," kata Yuswohady kepada detikcom, Jumat (27/1/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belajar dari kasus Eiger agar tidak terulang, Yuswohady menyarankan untuk brand memahami era teknologi yang ada. Sebuah brand, kata dia tidak boleh memancing amarah konsumen dengan cara harus menerima semua pendapatnya.

"Konsumen itu bisa salah tapi karena kekuatan konsumen itu luar biasa, terpaksa brand itu harus tahu kondisi itu. Jadi sudah tidak bisa membungkam atau menutup, nggak boleh keberatan apapun yang dikatakan konsumen," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Kalaupun keberatan, para brand termasuk Eiger harus membangun pendekatan secara persuasif kepada konsumen. Bisa dijelaskan dengan cara diajak bertemu atau melalui sambungan telepon, tidak disarankan untuk memberi penjelasan secara tertulis karena berpeluang membuat kasus itu diviralkan.

"Barangkali email itu sudah sopan, tapi kan konsumen itu ada yang nakal, ada yang bagus, macam-macam. Kecenderungannya orang itu kan sekarang cari sensasi, si reviewer itu ketika dia dapat email kayak gitu dan berpotensi untuk bisa mempopulerkan dia ya blow up aja dan dia nggak rugi apa-apa karena banyak yang berpihak ke reviewer dengan adanya masalah ini," tuturnya.

Jika sudah terlanjur blunder seperti Eiger, sebuah brand disarankan harus langsung meminta maaf dan tidak menanggapinya dengan meneruskan perselisihan. Hal itu harus dilakukan agar permasalahan tidak berlarut.

"Jangan terus nekat nerusin permusuhan, lebih baik minta maaf atau mengklarifikasi. Tapi jangan mengklarifikasinya menentang, lebih baik itu minta maaf sambil menjelaskan," imbuhnya.

Menurut Yuswohady, kejadian seperti ini masih akan terus terjadi di Indonesia. Mengingat tidak adanya batasan terkait kriteria menjadi YouTuber, sehingga siapa saja bisa mereview sebuah produk sekalipun dia tidak expert di bidangnya.

"Memang masalah kayak gini akan kejadian terus. Nggak bisa disalahkan brand-nya atau reviewer-nya, kalau reviewer-nya abal-abal ya memang repot, layak brand itu marah, dia nggak ngerti produk kok review produk dan omongannya itu didengar orang itu kan jadi misleading. Orang banyak nganggur, banyak waktu yaudah review produk bisa dapat duit," tandasnya

(zlf/zlf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads