Pulsa Kena Pajak, Stafsus Sri Mulyani Singgung PPN Era Soeharto

Pulsa Kena Pajak, Stafsus Sri Mulyani Singgung PPN Era Soeharto

Hendra Kusuma - detikFinance
Sabtu, 30 Jan 2021 17:00 WIB
Prastowo Yustinus
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo/Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Kebijakan pulsa kena pajak menjadi polemik. Kementerian Keuangan selaku institusi yang menerbitkan aturan tersebut pun mengungkapkan alasan pemerintah merilis beleid yang bakal diimplementasikan pada 1 Februari 2021.

Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menyebut pemungutan pajak terhadap penjualan pulsa bukan kegiatan yang baru. Menurut dia, pengimplementasian pajak pertambahan nilai (PPN) sudah ada sejak 31 Desember 1983 dan berlaku pada 1 Juli 1984.

Adapun pelaksanaannya melalui UU Nomor 8 Tahun 1982. Beleid ini ditandatangani oleh Presiden Soeharto. UU ini pun, dikatakan Prastowo sebagai tanda reformasi pajak di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Lho ternyata #ppn bukan barang baru ya? Jelas bukan. Bahkan usianya sudah 36 tahun dan mengalami berbagai perubahan. Tahun 1983 menandai era baru perpajakan dengan berubahnya official assesment ke self assessment (swalapor). Ciri demokratis pajak menguat dan ini sangat penting," cuit Prastowo melalui akun Twitter @prastow yang dikutip, Sabtu (30/1/2021).

Reformasi pajak di Indonesia pada tahun 1983, lanjut Prastowo melahirkan UU Nomor 6 Tahun 1983 atau UU KUP, UU Nomor 7 Tahun 1983 UU PPh, UU Nomor 8 Tahun 1983 atau UU PPN, dan UU Nomor 12 Tahun 1985 atau UU PBB. Reformasi ini pun melibatkan para ahli dari Amerika Serikat (AS) dan Belanda.

ADVERTISEMENT

PPN sendiri diartikan sebagai pajak atas konsumsi barang atau jasa. Artinya bagi siapapun yang membeli barang atau memanfaatkan jasa yang menurut UU Nomor 8 Tahun 1983 ya dikenai pajak. Masyarakat atau dikenal sebagai wajib pajak (WP) harus membayar PPN yang caranya dipungut oleh penjual barang atau jasa.

"Itulah kenapa PPN disebut pajak objektif, karena yang dikenai objeknya yaitu konsumsi. Disebut pajak tidak langsung, karena sasarannya konsumen barang/jasa tapi pemungutannya melalui pengusaha di tiap mata rantai: pabrikan>distributor>pengecer>konsumen akhir," cuit Prastowo.

Lebih lanjut Prastowo menjelaskan, pada prinsipnya semua barang dan jasa dikenai PPN, selain yang dikecualikan oleh PPN. Tujuannya, agar pemerintah lebih mudah mengatur yang dikecualikan ketimbang yang dikenai. Daftar barang dan jasa yang dikenai PPN terdapat di dalam UU Nomor 42 Tahun 2009.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Mudahnya, dikatakan Prastowo, sepanjang barang atau jasa tidak masuk dalam negative list maka merupakan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak.

Kembali ke pulsa kena pajak, Prastowo memang sudah diatur sejak lama. Awalnya, jasa telekomunikasi itu melalui sambungan kabel, satelit, terus ke seluler pascabayar, selanjutnya ada pra bayar dan pulsa menjadi babak baru. Aturannya pun sudah tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 dan dikuatkan kembali oleh PP Nomor 28 Tahun 1988 yang mengatur secara spesifik tentang PPN jasa telekomunikasi.

Kalau dulu hanya ada Perumtel sebagai pemungut PPN, sekarang seluruh provider jasa telekomunikasi wajib memungut PPN. Seiring berjalan, Prastoro mengatakan muncul masalah-masalah di lapangan, khususnya di tingkat distributor dan pengecer. Di mana kesulitan menjalankan kewajiban karena secara administrasi belum mampu.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Serta Pajak Penghasilan (PPh) atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan Dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer.

Aturan ini intinya memberikan kepastian status pulsa sebagai barang kena pajak agar seragam karena kadang dipahami sebagai jasa. Begitu pun dengan pemungutan pajaknya, beleid itu mengatur hanya sampai dengan distributor besar.

"Jadi mustinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sudah lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tidak dibebani pajak tambahan. Tapi kan ada PPh Pasal 22 0,5%? Bagaimana ini? Nah, sedikit saya jelaskan," cuit Prastowo.

Untuk PPh dengan tarif 0,5%, Prastowo mencontohkan dengan Rp 500 perak dari voucer pulsa seharga Rp 100 ribu. Ini dipungut tetapi dijadikan pengurang pajak di akhir tahun, bisa diibaratkan seperti cicilan pajak. Bagi WP UMKM dan punya surat keterangan maka hanya cukup menunjukkan dan tidak perlu dipungut lagi.

"Jadi sesungguhnya tak perlu terjadi polemik dan kontroversi. Ini hal yg biasa, bahkan menguntungkan publik dan negara. Semoga penjelasan saya bermanfaat. Mohon bantu jelaskan ke mereka yang masih ragu atau tidak jelas. Mari terus bekerja sama untuk kebaikan Indonesia tercinta. Salam," tutup Prastowo.


Hide Ads