Labu siam merupakan salah satu komoditas hortikultura yang belakangan menjadi andalan sektor pertanian di Kabupaten Bandung. Meski posisi komoditas ini masih di bawah kopi, padi, jagung, dan tanaman hortikultura sejenisnya seperti cabai dan tomat, tetapi masyarakat Bandung saat ini banyak juga yang menanam dan menjual labu.
Menurut Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Diar Hadi Gusdinar, hal tersebut disebabkan karena harga labu siam atau yang biasa dikenal labu acar sedang tinggi. Selain itu, diversifikasi komoditas yang ditanam oleh petani menjadi ancang-ancang untuk mengantisipasi saat harga satu komoditas turun.
"Sekarang ini di Kabupaten Bandung cukup hangat-hangatnya menanam labu acar kalau bahasa istilah daerahnya, sehingga hampir sebagian besar desa di Pasir Jambu ini ditutupi oleh paranggong (bambu yang menopang tumbuhnya labu ini) yang isinya labu siam," ujarnya kepada detikcom beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena pada saat ini harga dari labu siam cukup menjanjikan sehingga dan masih bisa bertahan, menanam komoditas labu acar ini dan menjadi unggulan," imbuhnya.
Data BPS dan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung menyebut pada tahun 2018, Kabupaten Bandung bisa memproduksi 609.753 ton labu dari lahan panen seluas 439 ton. Lalu pada tahun 2019, Kabupaten Bandung bisa memproduksi 551.744 ton labu dari lahan panen seluas 408 hektare.
Menurut Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Regge Generation, Dede Koswara di Desa Cukanggenteng, Kecamatan Pasir Jambu, labu menjadi komoditas pilihan petani dinilai karena mudah dipanen dan perputarannya pasarnya bisa setiap hari.
"Soalnya apa? perputarannya tiap hari, selang satu hari panen, nanam satu kali, kemampuannya bisa 4 tahun, tergantung budi daya dan sumber air," ujar Dede Regge, sapaan akrabnya.
![]() |
Dede menjelaskan saat ini labu menjadi komoditas dominan yang diproduksi gapoktannya. Dari lahan sekitar 350 hektare, gapoktan yang beranggotakan 2.100 orang ini bisa mengirim rata-rata 20 ton labu setiap harinya ke pasar induk yang ada di Tangerang, Bogor, dan Cirebon.
"Kalau kemarin mayoritas di tahun 2019-2020 puncaknya nyampe 30 ton, kalau sekarang cuma 20 ton, sudah berkurang karena pandemi. Produksinya yang turun, permintaan tetap, cuma produknya yang turun," ujarnya.
"Akibat pas pandemi di bulan 3 (2020) di sayuran nggak ada perubahan masih stabil. Pas Juli, Agustus, September anjlok semua semua sayuran, itu pas PSBB tahap 2. Dari hulu terus produksi, pas ke pasarnya, PSBB, yang belanja nggak ada. Barang banyak, akhirnya nggak ada yang beli kebuang. Jadi harga hampir semua di bawah Rp 1.000 (per kg), semua hancur. Sekarang bulan 12 (2020), bulan 1 (2021) sudah mulai stabil lagi," imbuhnya.
Lebih lanjut Dede menjelaskan dari produksi labu tersebut, Gapoktan Regge Generation masuk dalam program inkubator bisnis milik Bank BRI.
Saat ini Desa Cukanggenteng bahkan dikembangkan menjadi agrowisata kampung labu acar di Kabupaten Bandung.Gapoktan Regge Generation juga mendapatkan berbagai bantuan dari Bank BRI, seperti mesin cultivator, timbangan digital, tray, mesin sachen, dan sprayer.
Gapoktan ini juga mendapatkan bantuan modal demplot atau greenhouse untuk pengembangan komoditas lain, yaitu paprika.
detikcom bersama BRI mengadakan program Jelajah UMKM ke beberapa wilayah di Indonesia yang mengulas berbagai aspek kehidupan warga dan membaca potensi di daerah. Untuk mengetahui informasi lebih lengkap, ikuti terus beritanya di sini.
(akd/ara)