Pemerintah telah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5% pada Februari kemarin. Meski begitu, kebijakan ini dinilai belum memengaruhi harga rokok. Harga jual eceran (HJE) rokok dinilai masih terbilang murah.
Peneliti Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) Adi Musharianto mengatakan, kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) saat ini memungkinkan harga jual rokok di bawah 85 persen dari harga pada pita cukai atau Harga Jual Eceran (HJE) yang telah ditetapkan Pemerintah.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan terutama yang berskala besar berbondong-bondong menjual produknya jauh di bawah harga banderol. Keberadaan rokok murah di pasar pun diperkirakannya bakal semakin merajalela seiring lemahnya kebijakan pengawasan harga jual rokok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Percuma saja cukai rokok naik sampai 23 persen (tahun lalu) kalau realisasi HJE-nya disunat sampai puluhan persen," tegas Adi di Jakarta, Jumat, 5 Maret 2021.
Variabel kenaikan cukai yang tidak diikuti kebijakan pengawasan harga yang optimal itu dinillainya sebagai kebijakan yang tidak selaras dan mencederai upaya pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia.
Merebaknya peredaran rokok murah di Indonesia juga diamini Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Cukai Kudus Gatot Sugeng Wibowo yang mengakui pandemi COVID-19 membuat daya beli masyarakat melemah, sehingga mereka mengalihkan konsumsinya ke produk yang lebih murah.
"Di Kudus ada satu perusahaan yang turun golongan dari golongan I menjadi golongan II yaitu PT Nojorono Tobacco International. Sementara pabrikan yang bertahan pada golongan 1 adalah PT Djarum. Alasannya omset penjualan turun akibat pelemahan daya beli, selain itu kenaikan tarif cukai sehingga harga rokok dinaikkan semakin mahal," kata Gatot.