Komisaris BRI Sebut Kolaborasi Lembaga Keuangan Penting bagi UMKM

Komisaris BRI Sebut Kolaborasi Lembaga Keuangan Penting bagi UMKM

Inkana Putri - detikFinance
Sabtu, 13 Mar 2021 17:37 WIB
Komisaris PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) Rofikoh Rokhim
Foto: Dok. BRI
Jakarta -

Komisaris PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) Rofikoh Rokhim menyoroti pentingnya penerapan nilai keberlanjutan (sustainability) oleh lembaga keuangan. Menurutnya, para lembaga keuangan perlu berkolaborasi dalam meningkatkan skala bisnis pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta ultra mikro, khususnya dalam hal pembiayaan sehat.

Hingga 2019 lalu, Rofikoh menyebut tingkat inklusi keuangan masyarakat di Indonesia baru mencapai 76,19%. Adapun angka perlu ditingkatkan salah satunya melalui jalur pembiayaan atau pemberian kredit kepada pelaku UMKM dan ultra mikro

"Angka ini menunjukkan bahwa belum semua penduduk Indonesia dapat menikmati akses jasa keuangan, dan sebagian di antaranya bisa jadi merupakan pelaku UMKM. Padahal salah satu penentu keberlangsungan suatu usaha adalah kemampuannya memperoleh akses permodalan yang terjangkau," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/3/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Data menunjukkan, bahwa UMKM mendapatkan pembiayaan dari perbankan sebesar Rp 1.091 triliun pada bulan Desember 2020, yaitu masih sekitar 25% dari total kredit yang disalurkan oleh perbankan," imbuh Rofikoh dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar di FEB Universitas Indonesia berjudul Perbankan dan Keuangan Sosial: Aspek Berkelanjutan untuk Kesejahteraan.

Lebih lanjut, Rofikoh menyebut terdapat empat kendala akses pembiayaan formal bagi UMKM. Pertama, adanya information opacity (kekurangan informasi) karena UMKM tidak terlibat audit lembaga perbankan, minim menggunakan teknologi, dan asetnya tidak dijamin.

ADVERTISEMENT

Kedua, ada information asymmetry yang berujung terjadinya credit rationing dari bank. Ia menyampaikan rasionalisasi kredit menyebabkan banyak pelaku UMKM yang dibebankan biaya pembiayaan tinggi oleh bank, untuk mengantisipasi potensi default dari debitur.

Ketiga, adanya kondisi granularity atau karakter pembiayaan UMKM yang banyak tapi tersebar dalam jumlah kecil. Dan keempat, meningkatnya monitoring cost perbankan untuk mengawasi pembiayaan granular, sehingga mengurangi efisiensi lembaga keuangan.

"Hal ini menuntut transformasi antar lembaga-lembaga yang ada dalam industri keuangan di Indonesia, untuk lebih meningkatkan kolaborasi demi penguatan jejaring perbankan kepada sektor UMKM," ucapnya.

"Penyaluran kredit kepada UMKM ini tidak cukup hanya dilakukan oleh sektor perbankan, melainkan juga berbagai lembaga, di antaranya Permodalan Nasional Madani (PNM) dengan produk ultra mikro (UMi) Mekaar secara berkelompok kepada lebih dari 8 juta wanita dari keluarga pra-sejahtera. Pegadaian juga penyaluran pembiayaan UMi kepada sekitar 219 ribu nasabah. Bahana Artha Ventura juga sekitar 270 ribu nasabah UMi," lanjut Rofikoh.

Selain UMi, Rofikoh menjelaskan sejak 2007 ada kebijakan kredit usaha rakyat (KUR) yang ditujukan bagi UMKM. Penelitian pun menunjukkan KUR dapat membantu UMKM karena kemudahan persyaratan. Selain itu, KUR juga banyak digunakan untuk perluasan usaha serta peningkatan kegiatan sektor produktif.

Lebih lanjut, ia mengatakan para penerima KUR juga telah menerapkan konsep creating shared value dengan memperhatikan aspek sosial dan aspek lingkungan dalam menjalankan bisnis. Bahkan, nasabah KUR meyakini penyaluran pembiayaan KUR menciptakan nilai bersama secara mutual antara bank dan debitur.

"Tidak heran jika di masa pandemi, para account officer rela menambah 20% jam kerja untuk tetap menyalurkan KUR demi terus menjaga kelangsungan bisnis dari sisi penawaran dan permintaan agar perekonomian terus bergerak. Sungguh pengabdian nyata," paparnya.

Rofikoh menambahkan keberadaan akses permodalan yang luas dan dukungan dari banyak lembaga membuat UMKM berkesempatan meningkatkan skala usahanya. Adapun peningkatan ini akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, ia menyebut kolaborasi dari berbagai lembaga keuangan saat ini menjadi penting untuk menciptakan sharing economy. Selain itu, dibutuhkan juga kerja sama juga untuk meningkatkan inklusivitas, produktivitas, dan pendapatan masyarakat.

Dengan demikian, lanjut Rofikoh, skala bisnis UMKM yang tumbuh juga akan membuat lembaga pendanaan memberi lebih banyak pendanaan sehingga semakin banyak pelaku UMKM dan ultra mikro yang bertransaksi melalui perbankan/lembaga keuangan.

Upaya ini tentunya akan meningkatkan traffic aktivitas lembaga keuangan dan memberi keuntungan terhadap bank melalui penyaluran pembiayaan yang meningkat kepada UMKM-UMKM naik kelas.

"Hal ini sejalan dengan pengertian mengenai social banking atau social finance bahwa industri keuangan selayaknya mengembalikan penggunaan uang kepada kehidupan nyata atau ekonomi riil. Misi sosial ini mampu diperluas dengan adanya penyaluran dana dari perbankan melalui lembaga keuangan mikro," ujarnya.

"Dengan menggabungkan kontribusi dari berbagai pemangku kepentingan, maka diharapkan lembaga keuangan dapat semakin memperkuat tujuan untuk menyeimbangkan peran secara sosial dan pencapaian profit. Hal ini merupakan salah satu cara untuk memperkuat peran sektor keuangan dalam membantu masyarakat dalam mencapai tujuannya dan menjadi sistem pendukung di dalam masyarakat," pungkas Rofikoh.




(akd/ega)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads