Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini mengungkap ancaman baru ekonomi dunia. Risiko itu mulai dari asset bubble (gelembung aset), stabilitas nilai tukar, harga komoditas, krisis utang, hingga risiko geopolitik akibat kebijakan yang diambil untuk hadapi pandemi COVID-19.
Lalu, seberapa besar kemungkinan hal itu terjadi di Indonesia?
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengaku sepakat dengan Sri Mulyani bahwa ada ancaman itu untuk ekonomi ke depan. Yang paling terasa dampaknya adalah risiko stabilitas nilai tukar yang saat ini dinilai sudah agak sulit dikendalikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"BI (Bank Indonesia) sendiri sekarang agak kekurangan daya karena modality dia kan digunakan untuk ikut membantu pemerintah burden sharing. Sekarang nilai tukar ini gampang sekali, apalagi Amerika sekarang semakin muat ekonominya, nah ini risikonya nilai tukar kita juga agak relatif kurang stabil," kata Tauhid, Selasa (15/3/2021).
Ancaman selanjutnya yakni risiko geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang akan berdampak terhadap ekspor Indonesia. Belum lagi masalah krisis utang, meskipun Indonesia masih bisa menanganinya, defisit anggaran disebut masih akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang.
"Geopolitik itu sangat berpengaruh, kita kena imbasnya seperti permintaan ekspor dari negara-negara yang berkonflik itu berimplikasi potensi ekspor kita tidak akan meningkat cukup tajam. Kalau utang mungkin masih bisa di-handle tapi risikonya kita akan tetap berada pada defisit anggaran sekitar 2,5-3% setelah 2023," ucapnya.
Tauhid memprediksi ancaman ekonomi itu akan terjadi pada 3-5 tahun mendatang atau setelah pandemi COVID-19 menurun.
"Saya kira setelah pandemi menunjukkan titik menurun, tapi ancaman sebagai dampak panjang pandemi betul akan terjadi 3-5 tahun lagi dengan situasi global seperti ini," ucapnya.
Apa kata pengamat lain soal ancaman ekonomi ini? klik halaman berikutnya.
Lihat juga Video: Saling Gugat Bambang Tri Vs Sri Mulyani