Dia mengatakan algoritma aplikasi akan mengatur mana driver yang bisa mendapatkan order mana yang tidak. Padahal waktu di awal transportasi online muncul, orderan diatur dengan cara siapa yang paling dekat.
Misalnya, ada pesanan di Gambir, bisa saja driver online di sekitar Gambir tidak mendapatkan pesanan.
"Ini algoritma kan memutuskan siapa yang dapat order. Kita muter-muter Jakarta 25 kali juga kalau nggak dikasih order dari algoritma juga ya kita nggak dapat apa-apa," ungkap Ariel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas menilai memang skema kemitraan yang dianut transportasi online memang cukup merugikan para driver transportasi online.
Menurutnya telah terjadi kemitraan yang tidak seimbang dalam pengoperasian transportasi online. Darmaningtyas menyebut selama ini driver online sebetulnya berjuang sendiri, namun sebagai mitra tak memiliki otonomi apapun untuk menentukan nasibnya.
"Kalau merugikan ya memang, kan gini yang bekerja, yang berusha, yang modal kan pengemudi. Yang cari duit juga driver. Tapi dia aja kena potong, dan dia nggak punya otonomi apa-apa," kata Darmaningtyas.
"Mestinya mitra ini setara. Ini kemitraan yang tidak seimbang," ujarnya.
(hal/zlf)