Penjualan minuman keras (miras) sempat melonjak dipicu oleh pandemi virus Corona (COVID-19) yang memaksa orang-orang tinggal di rumah. Namun, untuk pertama kalinya dalam setahun sejak pandemi mulai menyebar ke seluruh Amerika Serikat (AS), penjualan minuman beralkohol turun.
Berdasarkan data yang dirilis Nielsen, total penjualan turun 1,9% untuk pekan yang berakhir 13 Maret. Setahun yang lalu, konsumen menimbun alkohol saat toko-toko di AS membatasi operasional.
Akibatnya, penjualan alkohol melonjak hingga 55% pada Maret 2020 dengan minuman beralkohol, anggur, dan bir di antara penjual teratas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami secara resmi telah melampaui satu tahun perubahan drastis dalam perilaku konsumen akibat pandemi di AS. Pada saat ini tahun lalu, volume alkohol mengalami pergeseran besar-besaran dari lokal ke luar gedung," kata wakil presiden minuman beralkohol di NielsenIQ, Danelle Kosmal dilansir CNN, Rabu (24/3/2021).
Penurunan tersebut juga mencerminkan bahwa bar dan restoran telah dibuka kembali. Mereka berkontribusi besar terhadap penjualan alkohol. Nielsen mengatakan laporannya tidak melacak metrik tersebut yang dikenal sebagai penjualan di tempat.
Penjualan anggur turun 8% untuk pekan yang berakhir 13 Maret, sedangkan minuman beralkohol stagnan, dan penjualan bir sedikit lebih tinggi berkat popularitas seltzer yang terus berlanjut.
Jika Nielsen mengecualikan penjualan seltzer dari surveinya, penjualan minuman beralkohol akan turun lebih dari 2% selama seminggu. Mungkin yang lebih menonjol, total penjualan alkohol untuk minggu ini akan turun 3% jika bukan karena penjual miras.
Dalam beberapa minggu terakhir, beberapa seltzer baru telah memasuki pasar termasuk rasa es teh dari White Claw dan penawaran alkohol per volume yang lebih tinggi dari Truly. Opsi baru dari Topo Chico dan Spindrift juga akan segera dijual.
Meski mengalami penurunan, konsumen masih membeli banyak miras. Nielsen mengatakan bahwa penjualan eceran minuman beralkohol, anggur, dan bir masih sekitar 20% hingga 30% lebih tinggi bulan ini dibandingkan dengan Maret 2019.
Perusahaan riset tersebut memperkirakan bahwa tren tersebut akan stagnan dalam beberapa minggu mendatang karena lebih banyak negara bagian yang dibuka kembali.
(toy/ara)