Jakarta -
Pemerintah diminta lebih selektif dan kalkulatif dalam menjalankan kebijakan fiskal, termasuk insentif perpajakan. Ketua Badan Anggaran DPR RI, MH Said Abdullah mengungkapkan kebijakan fiskal harus benar-benar memiliki dampak untuk perekonomian nasional.
Said menyebutkan rencana insentif pajak terhadap ritel dan pariwisata untuk menggaet wisatawan mancanegara belum tepat.
"Industri ritel bahkan sebelum pandemi telah mengalami kontraksi karena pergeseran perilaku masyarakat yang memilih memanfaatkan e-commerce," kata dia dalam keterangannya, Senin (10/5/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Said mengungkapkan di sektor pariwisata selama pandemi masih berlangsung, wisatawan mancanegara (wisman) lebih memilih menunda bepergian, sehingga iming-iming diskon tak akan mengundang minat wisatawan. Hal ini sesuai dengan laporan BPS kuartal I-2021, di mana kunjungan wisman ke Indonesia turun 16,33%.
Oleh karena itu, untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi pada kuartal berikutnya, pemerintah fokus memberi insentif terhadap sektor-sektor yang secara kalkulatif mendongkrak pertumbuhan sekaligus menyerap lapangan kerja.
Misalnya, sektor pertanian, perikanan, migas serta industri makanan dan minuman yang seharusnya mendapatkan berbagai dukungan kebijakan fiskal berkelanjutan.
"Selain menopang tenaga kerja besar, sektor-sektor tersebut terbukti mampu tumbuh dengan tertatih dan berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi," ujar dia.
Untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Said mendorong pemerintah memperluas basis ekspor termasuk negara tujuan ekspor agar tidak terkonsentrasi di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Momentum pertumbuhan Amerika Serikat (AS) dan sebagian negara di Eropa bisa menjadi alternatif kawasan tujuan ekspor, termasuk Timur Tengah.
Ironisnya, selama dua dekade terakhir, kualitas komoditas ekspor Indonesia masih belum mengalami perbaikan. "Pada kuartal I-2021 pertumbuhan ekspor dan jasa mencapai 6,74%, sedangkan kontribusi ekspor terhadap PDB hanya mencapai 19,18%," terangnya.
Lebih jauh, ia meminta pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas intervensi berbagai program perlindungan sosial untuk menjaga daya beli rumah tangga miskin.
Masih terkontraksinya konsumsi rumah tangga harus dipetakan lebih dengan berbagai instrumen guna mendorong pertumbuhan. Apalagi, ekonomi Indonesia masih sangat tergantung pada konsumsi. Padahal, instrumen penting dari pemulihan ekonomi adalah meningkatnya konsumsi masyarakat.
"Karena itu, kebijakan fiskal hendaknya tetap difokuskan untuk membantu rumah tangga berpenghasilan rendah daripada insentif ke dunia usaha," jelas dia.
Dia menyebut pemerintah juga harus konsisten dengan kebijakan pusat dan daerah untuk menjaga anggaran tetap efektif masih perlu ditingkatkan.
Sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) tahun anggaran 2020 yang menjulang hingga Rp 234,7 triliun atau empat kali lipat lebih tinggi dari SiLPA APBN 2019 sebesar Rp 53,4 triliun menunjukkan kapasitas anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) belum dimanfaatkan secara maksimal.
Bahkan total saldo pada Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) atau dana idle terpantau di perbankan daerah sampai dengan akhir Maret mencapai Rp 182 triliun. Said mengaku tantangan ekonomi tahun depan cukup berat, meskipun berlangsung cukup lambat dan masih dalam area resesi, namun arah pertumbuhan ekonomi nasional menuju arah yang menggembirakan.
Untuk itu, momentum ini harus terus dijaga, sehingga pertumbuhan ekonomi akumulatif hingga tahun 2021 setidaknya minimal bisa mencapai 4%. Apalagi, tahun 2021 ini menjadi sangat krusial karena pemerintah akan menyusun APBN 2022.
"APBN 2022 akan menjadi jembatan untuk mengembalikan defisit pada angka di bawah 3% pada APBN 2023," jelas dia. Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian ini menerangkan ruang fiskal akan semakin terbatas lantaran Pemerintah tidak bisa lagi memperbesar pembiayaan hingga melebih 3%.
Oleh sebab itu, APBN 2022 harus memiliki pijakan yang kuat menuju periode normal pada tahun 2023 nanti, yang pada akhirnya akan bertumpu pada penerimaan perpajakan dan hasil sumber daya alam.
"Jadi, momentum diskon pajak selama dua tahun ini harus mampu membuahkan hasil penerimaan perpajakan yang lebih tinggi pada tahun 2022 dan seterusnya," tuturnya.
Sejauh ini jelas Said, kondisi perekonomian masih berada pada kondisi ketidakpastian. Salah penyebabnya satunya, pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia.
Belajar dari India, gelombang kedua penyebaran COVID-19 yang jauh lebih dahsyat, menyebabkan kondisi India sangat terpuruk. "Saya berharap satgas COVID-19 lebih well-organized, dan disiplin, serta Kemenkes lebih progresif dalam mengejar lebih banyak target vaksinasi terutama terhadap kelompok prioritas," tambah dia.