Ketua MPR: Pemerintah Harus Proses Pelanggaran PT Toba Pulp Lestari

Ketua MPR: Pemerintah Harus Proses Pelanggaran PT Toba Pulp Lestari

Nadhifa Sarah Amalia - detikFinance
Selasa, 25 Mei 2021 20:19 WIB
Ketua MPR Bambang Soesatyo
Foto: MPR
Jakarta -

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut izin konsesi penggunaan lahan di PT Toba Pulp Lestari. Hal ini mengingat kehadirannya justru merampas hak atas lingkungan yang aman dan lestari, hak atas pekerjaan, dan hak atas rasa nyaman.

Berdasarkan aduan masyarakat yang masuk, kehadiran PT Toba Pulp Lestari justru menyebabkan banyak persoalan yang tidak kunjung selesai. Selama lebih dari 30 tahun, mereka justru hanya menyisakan duka mendalam bagi masyarakat di Tapanuli, Sumatera Utara.

"PT Toba Pulp Lestari pada awalnya mendapatkan izin konsesi seluas 269.060 dari negara, berdasarkan SK No.493 KPTS-II/Tahun 1992. Setelah mengalami delapan kali revisi, yang terakhir SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020, izin konsesi menjadi 167.912 hektar. Fakta di lapangan, wilayah konsesi bersinggungan dengan wilayah masyarakat adat. Menyebabkan akar konflik agraria yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan hingga saat ini. Pemerintah harus memproses hukum pelanggaran yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari baik kehutanan, lingkungan hidup, dan pencemaran/Pengaringan Kawasan Pertanian dan Danau Toba termasuk pemukulan terhadap masyarakat," ujar Bamsoet menanggapi aduan masyarakat adat, di Jakarta, Selasa (25/5/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PT Toba Pulp Lestari sendiri semula bernama PT Inti Indorayon Utama. PT tersebut secara resmi berdiri pada 26 April 1983. Pergantian nama menjadi PT Toba Pulp Lestari Tbk dilakukan pada tahun 2004 dan berlaku hingga saat ini.

Lebih lanjut, Ketua DPR RI ke-20 menceritakan, di tanggal 31 Oktober 1984, Gubernur Sumatera Utara kala itu mengabulkan permohonan lokasi pabrik PT Inti Indorayon Utama seluas 200 Ha di Sosor Ladang Porsea. Pada tanggal 19 November 1984, PT ini akhirnya memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas 180.000 Ha di hutan alam dan hutan pinus merkusi di Sumatera Utara.

ADVERTISEMENT

"Selanjutnya pada 20 Mei 1985, Prof Dr Otto Soemarwoto mengirim surat ke BPPT menolak ikut bertanggung jawab atas keputusan rapat 'ilmiah' pada tanggal 17 Mei 1985. Alasannya, tidak cukup data untuk mengambil keputusan secara ilmiah. Data ilmiah yang disajikan tim peneliti dari USU sangat kurang. Tidak memadai untuk mengambil kesimpulan ilmiah. Para ahli ekologi juga tidak setuju dengan pendirian pabrik PT Inti Indorayon Utama di hulu sungai/pegunungan, karena memicu berbagai bencana ekologis. Pada 21 Mei 1985, Otorita Pengembangan Proyek Asahan (OPPA) menolak ikut bertanggung jawab atas lokasi pabrik dengan suratnya kepada Menristek/Ketua BPPT," jelas Bamsoet.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, dalam praktiknya, PT Toba Pulp Lestari seringkali memaksa masyarakat adat yang sudah lama mendiami berbagai wilayah konsesi untuk menerima bahwa merekalah yang berhak menguasai dan mengelola wilayah adat tersebut. Sikap arogansi perusahaan ditunjukkan dengan berbagai upaya penggusuran yang selalu melibatkan aparat dan instansi pemerintahan.

"Kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat adat di wilayah konsesi kerap terjadi hingga saat ini. Konflik paling besar antara masyarakat adat dengan PT Toba Pulp Lestari berawal pada tahun 2000, yang mengakibatkan seorang mahasiswa, Panuju Manurung, dan Siswa SMK bernama Hermanto, meninggal dunia. Pada 18 Mei 2021, masyarakat Adat Natumingka mendapatkan tindakan kekerasan dan kriminalisasi. Terdapat 12 warga yang mendapat luka cukup serius," terang Bamsoet.

Bamsoet menambahkan, saat ini, sekitar 23 komunitas masyarakat adat yang tersebar di 5 Kabupaten Kawasan Danau Toba turut berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari. Total wilayah adat yang diklaim sepihak sebagai konsesi perusahaan sekitar 20.754 Ha. Sepanjang tahun 2020-2021, sebagaimana disampaikan KSPPM Parapat, PT Toba Pulp Lestari melakukan berbagai tindakan kekerasan terhadap warga.

"Antara lain, pada 4 September 2020, security dan utusan PT Toba Pulp Lestari mengintimidasi masyarakat adat Natinggir. Pada 9 Oktober 2020, sekitar 150 orang security dan Humas PT Toba Pulp Lestari kembali mendatangi masyarakat yang sedang berladang, sekitar 30 orang masyarakat mengalami tindak kekerasan. Pada 27 November 2020, PT Toba Pulp Lestari melarang masyarakat adat Ompu Panggal Manalu di Aek Raja menanam di wilayah adatnya. Tanaman kopi dan pisang masyarakat dirusak security PT Toba Pulp Lestari," tandas Bamsoet.

Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menuturkan, pada 21 Desember 2020, PT Toba Pulp Lestari menerbitkan surat larangan kepada masyarakat Natinggir untuk membangun rumah di atas wilayah adatnya. Dilanjutkan pada Januari 2021, PT Toba Pulp Lestari melaporkan masyarakat adat Op. Ronggur Simanjuntak ke Polres Tapanuli Utara karena tetap berladang di areal konsesi, padahal korban jelas berladang di tanah adat mereka. Pada 20 April 2021, warga Parbulu melakukan aksi protes terkait limbah pembibitan PT Toba Pulp Lestari yang mencemari sawah mereka yang dijadikan lokasi pembibitan. Pdt. Faber Manurung sampai dibawa paksa polisi.

"Pada 30 April 2021, PT Toba Pulp Lestari didampingi polisi desa dan Babinsa menghentikan aktivitas penanaman warga dan memicu konflik. Sedangkan pada 18 Mei 2021, PT Toba Pulp Lestari mengancam dan melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat Natumingka, sebanyak 12 warga mengalami luka-luka akibat dipukul dan dilempari oleh security, humas dan karyawan PT Toba Pulp Lestari. Aparat kepolisian harus menindak dan memproses hukum tindakan kekerasan yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari terhadap masyarakat adat," pungkas Bamsoet.

Penjelasan PT TPL

Direktur PT Toba Pulp Lestari Tbk (PT TPL) Jandres Silalahi buka suara soal bentrokan yang terjadi di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatra Utara.

Jandres menyebutkan bentrokan terjadi karena adanya aksi-aksi yang tidak diharapkan oleh sekelompok masyarakat. Dia menjelaskan bentrokan terjadi di tengah proses dialog antara perusahaan, masyarakat, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), serta stakeholders lainnya.

"Kami menyesalkan atas terjadinya tindakan yang tidak diharapkan yang menyebabkan dua korban luka. Apalagi, aksi oleh sekelompok oknum masyarakat tersebut terjadi di tengah proses dialog untuk menyelesaikan isu-isu yang ada," kata Jandres melalui keterangan tertulis yang diterima detikcom, Kamis (20/5/2021).

(ega/hns)

Hide Ads