Akankah Garuda Jadi The Next Merpati?

Akankah Garuda Jadi The Next Merpati?

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Jumat, 04 Jun 2021 19:30 WIB
PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) datangkan pesawat Boeing 777-300ER untuk melayani penerbangan haji mulai Agustus 2015. Hari ini maskapai pelat merah itu menerima B777-300ER ketujuhnya di Hanggar 2 Garuda Maintenance Facilities (GMF), kawasan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Rachman Haryanto/detikcom.
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Kondisi maskapai PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sangat mengkhawatirkan. Maskapai pelat merah ini terlilit utang hingga kerugian bulanan yang cukup besar.

Saking parahnya, Garuda menawarkan pensiun dini kepada karyawannya. Bahkan yang terbaru, komisaris sampai menolak terima gaji untuk meringankan beban perusahaan.

Garuda memang bernasib buruk. Tapi masih ada maskapai pelat merah lain yang lebih bernasib buruk yakni PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) atau MNA yang kini hidup segan mati tak mau. Pertanyaannya, apakah Garuda akan menyusul Merpati?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, kondisi Garuda bisa dibilang mengkhawatirkan. Namun, kondisi Garuda saat ini berbeda dengan apa yang menimpa Merpati.

Garuda Indonesia terpukul karena pasar yang ambruk dampak dari pandemi COVID-19. Hal ini membuat penumpang tidak maksimal yang kini di kisaran 30-40%. Sementara, armada dan karyawan yang bekerja masih normal. Hal ini jelas menimbulkan kerugian pada Garuda.

ADVERTISEMENT

"Kalau waktu Merpati, bedanya kondisi pasar masih normal. Dia mengalami kerugian bertumpuk-tumpuk, utang bertumpuk, tidak ada restrukturisasi yang besar-besaran seperti di Garuda di tahun 2000. Jadi beda lah ya," katanya kepada detikcom, Jumat (4/6/2021).

Namun, ia tak menepis jika Garuda bisa senasib dengan Merpati jika tidak ada langkah-langkah yang diambil pemerintah. Sehingga, Garuda tetap mengalami tekanan walaupun pasar telah pulih.

"Cuma apakah ini bisa menjadi seperti Merpati, ya bisa, kalau tidak ada langkah-langkah yang diambil pemerintah, ini deeb burden ini akan menjadi terlalu besar sehingga ketika pasar recover, ketika demand balik ke 100%, penumpang normal lagi, harga tiket sudah normal lagi, dan lain-lain, takutnya Garuda masih terkendala masalah utangnya. Jadi ini yang mesti dipikir ke depannya," paparnya.

Tonton juga Video: Momen Erick Thohir Usulkan Komisaris Garuda Cukup 2 Saja

[Gambas:Video 20detik]




Intinya, kata dia, pemerintah harus menentukan sikap akan dibawa ke mana Garuda. Ada banyak pilihan, apakah tetap menjadi maskapai besar dengan banyak rute tapi tetap risiko rugi. Kemudian, menjadi maskapai yang mencari untung seperti halnya swasta.

"Atau tengah-tengah, tetep sangat profit oriented tapi masih bisa mengembani beberapa tugas yang diberikan negara misalnya buka rute, untuk kepentingan diplomatis politis," katanya.

Menurutnya, pemerintah harus tegas memilih. Dia bilang, jika arahnya tidak jelas maka Garuda akan tetap seperti ini meski direstrukturisasi.

"Kalau menurut saya, kalau memang posisi tengah, ya udah ambil jalan tengah, maskapai ini harus untung, untungnya harus cukup untuk bisa mengembani tugas-tugas yang tadi. Ya kita harus jujur Garuda buat apa," ujarnya.

Sementara, Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengatakan, penyehatan Garuda tergantung dari niat pemerintah. Dia mengatakan, jika hanya murni bisnis maka Garuda akan gulung tikar. "Niat untuk pertahankan atau bikin baru," katanya lewat pesan singkat.

Dia mengatakan, jika pemerintah merasa Garuda masih dibutuhkan untuk instrumen kebijakan, maka Garuda bisa dipertahankan.

"Bisa dengan suntik modal atau cairkan sebagian sahamnya kepada publik atau konversi sebagian utang (terutama utang kepada Pertamina & BUMN lainnya) menjadi saham," katanya.

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo sebelumnya buka suara mengenai parahnya kondisi Garuda. Ia mengatakan, Garuda menanggung rugi sampai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,43 triliun (asumsi kurs Rp 14.300) per bulan karena pendapatan yang diterima tak sebanding dengan beban biaya yang dikeluarkan.

Dia bilang, beban biaya yang dikeluarkan tiap bulannya sekitar US$ 150 juta. Sementara, pendapatannya hanya US$ 50 juta.

Menurutnya, masalah ini tidak bisa dibiarkan. Proses restrukturisasi terhadap utang mesti dilakukan agar Garuda tetap bisa bertahan. Namun, restrukturisasi juga bukan tanpa risiko. Garuda bisa bangkrut jika restrukturisasi tidak disetujui dan munculnya persoalan-persoalan hukum.

"Sebagai informasi saat ini sebulan Garuda memiliki cost sebesar US$ 150 juta. Sementara revenue US$ 50 juta. Jadi setiap bulan rugi US$ 100 juta. Memang sudah tidak mungkin kita lanjutkan dalam kondisi yang sekarang. Ini yang kami harapkan dari Komisi VI, kalau kita masuk proses restrukturisasi berat, dan melalui proses legal yang cukup kompleks, diharapkan dalam waktu 270 hari setelah kita moratorium, kita bisa menyelesaikan restrukturisasi ini," paparnya dalam rapat di Komisi VI, Kamis (3/6/2021)

"Memang ada risiko apabila dalam restrukturisasi ada kreditur tidak menyetujui atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda, bisa terjadi tidak mencapai kuorum dan akhirnya bisa terjadi akan menuju kebangkrutan. Ini yang kami hindari sebisa mungkin dalam proses legalnya, karena harapannya akan ada kesepakatan dari seluruh kreditur untuk menyepakati restrukturisasi," jelasnya.

Jebloknya kondisi Garuda karena beban masa lalu terutama berasal dari penyewa pesawat (lessor) yang melebihi biaya (cost) wajar. Dia mengatakan, Garuda juga mengelola banyak jenis pesawat sehingga menimbulkan masalah pada efisiensi. Kemudian, banyak rute-rute yang diterbangi tidak menghasilkan keuntungan bagi Garuda.

Sebenarnya, Garuda sempat untung di masa sebelum pandemi COVID-19. Tapi, keuntungan itu tidak sebanding dengan rugi yang diakibatkan oleh penerbangan luar negeri.

Saat pandemi, masalah pun muncul karena perubahan pengakuan kewajiban di mana operational lease yang tadinya dicatat sebagai operating expenditure (opex) kemudian dicatat sebagai utang.

"Sehingga utangnya yang di kisaran Rp 20 triliun jadi Rp 70 triliun, ya memang secara PSAK diharuskan dicatat sebagai kewajiban," sambungnya.

Dia mengatakan, restrukturisasi pun harus dilakukan secara fundamental. Utang Garuda saat ini sekitar US$ 4,5 miliar harus dipangkas sampai di kisaran US$ 1 miliar hingga US$ 1,5 miliar.

"Di mana secara sederhana, kalau EBITDA sekitar US$ 200-250 juta, itu secara kondisi keuangan yang normal maksimum rasionya 6 kali. Jadi sekitar 250 kali 6, US$ 1,5 miliar. Di atas itu Garuda tidak akan bisa bisa going concern karena nggak mampu bayar utang-utangnya," katanya.

Tiko mengatakan, saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan pemegang saham termasuk Kementerian Keuangan terkait restrukturisasi dalam rangka pengurangan beban utang.

"Ini yang sedang kami rumuskan pola dan legal prosesnya karena ini melibatkan lessor, juga ada peminjam dalam bentuk global sukuk bond yang dimiliki oleh pemegang sukuk dari middle east. Sehingga mau nggak mau kalau kita melakukan renegosiasi secara internasional harus melalui proses legal internasional. Tidak bisa hanya di Indonesia, karena justru mayoritas daripada utang Garuda adalah kepada lessor dan pemegang sukuk internasional," ujarnya.


Hide Ads