Kemenkeu Buka Suara Rencana Pungut Pajak Sekolah

Kemenkeu Buka Suara Rencana Pungut Pajak Sekolah

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Kamis, 10 Jun 2021 14:57 WIB
Sekolah
Ilustrasi/Foto: shutterstock
Jakarta -

Pemerintah memberikan penjelasan terkait rencana pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan. Dalam draf Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), jasa pendidikan dihapus dari daftar jasa yang tidak dikenai PPN.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, langkah tersebut sebagai upaya untuk mengurangi distorsi. Ia pun mencontonkan pada sembako yang dibebaskan PPN. Pembebasan PPN itu juga dinikmati oleh kalangan masyarakat yang mampu sehingga tidak adil.

"Jadi intinya akan mengurangi distorsi, itu dulu kita pahami. Jadi tadi contohnya beras, ada yang beli beras premium, beli beras Bulog kok sama aja nggak bayar PPN, nggak adil. Ada yang bisa beli daging segar kualitas wagyu, daging segar di pasar tradisional, sama ini nggak kena PPN, ya nggak adil," katanya kepada detikcom, Kamis (10/6/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini sebagaimana terjadi pada jasa pendidikan. Sekolah yang gratis dan sekolah yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented) sama-sama dibebaskan PPN.

"Jadi ini bukan hubungan soal gratis atau tidak gratis, tapi bagaimana sebaiknya yang dikonsumsi, atau dimanfaatkan kelompok masyarakat yang mampu itu dikenai PPN. Tujuannya untuk mengompensasi justru. Supaya ini bisa dipakai untuk menyubsidi, belanja publik yang tidak mampu," terangnya.

ADVERTISEMENT

Dia menuturkan, pengenaan pajak ini akan lebih menyasar pada sekolah yang berorientasi pada keuntungan. Sebab, sekolah negeri selama ini sudah gratis sehingga tidak dikenai PPN.

"Jadi profit oriented dan konsumsi oleh kelompok masyarakat mampu, lebih fair kalau dikenai PPN. Bahwa nanti tarifnya itu, itu bisa dibuat skema, kan kita punya ruang multi tarif sekarang bisa 5%, tidak 10 tidak 12, tapi 5%. Atau mungkin untuk yang kelompok lebih rendah bisa dengan nilai lain yang 1%. Saya rasa ruang itu disediakan," paparnya.

"(Sekolah negeri) kan nol, kalau negeri, nggak bayar to, kalau DPP-nya nol nggak kena PPN," tambahnya.

Namun, rencana pemungutan pajak ini masih panjang. Rencana tersebut hingga saat ini belum dibahas dengan DPR.

Simak Video: Daftar Bahan Pokok yang Kena Pajak PPN 12%

[Gambas:Video 20detik]



Lewat akun Twitternya @prastow, ia memberi penjelasan terkait rencana pemerintah menaikkan PPN. Hal tersebut tentu menjadi pertanyaan publik, apalagi di tengah pandemi.

Dia mengatakan, rancangan tersebut perlu disiapkan dan didiskusikan di saat pandemi justru untuk bersiap. Itu bukan berarti serta-merta diterapkan saat pandemi.

"Di sisi PPN, negara2 juga memikirkan penataan ulang sistem PPN, antara lain melalui perluasan basis pajak dan penyesuaian tarif. Ada 15 negara yg menyesuaikan tarif PPN utk membiayai penanganan pandemi. Rerata tarif PPN 127 negara adalah 15,4%. Kita sendiri masih 10%," cuitnya.

Dia juga menuturkan, ada sejumlah penyebab penerimaan PPN Indonesia belum optimal. Ia menyebut karena terlalu banyak pengecualian dan fasilitas.

"Kenapa sih penerimaan PPN kita blm optimal? Ini salah satu jawabannya: terlalu banyak pengecualian dan fasilitas. Indonesia negara dg pengecualian terbanyak. Ya memang dermawan dan baik hati sih. Cuma kadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jd ruang penghindaran pajak," ujarnya.

"Intermezzo: saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yg mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!" tambahnya.


Hide Ads