Direktorat Jenderal Pajak (DJP) buka-bukaan soal rencana mengubah skema Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari single tarif ke multitarif. Dengan begini pengenaan setiap barang/jasa akan berbeda tergantung dari kemampuan membayar (ability to pay) seseorang.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan, Masyarakat Neilmaldrin Noor mengatakan skema itu membuat pengenaan PPN lebih tinggi untuk barang/jasa yang dikonsumsi orang kaya. Sedangkan untuk masyarakat menengah ke bawah, bisa jadi pengenaan pajak akan lebih rendah.
"Barang jasa yang dikonsumsi masyarakat menengah khususnya menengah bawah bisa jadi akan dikenai tarif lebih rendah. Sebaliknya yang dikonsumsi kelompok-kelompok tertentu atau sifatnya lebih eksklusif ini bisa dikenai PPN lebih tinggi dengan adanya skema multitarif ini," katanya dalam media briefing UU KUP, Senin (14/6/2021).
Pengenaan pajak untuk segmen tertentu itu dilakukan agar menciptakan asas keadilan. Pasalnya insentif bebas PPN yang berlaku saat ini berlaku untuk semua orang, baik orang kaya maupun orang miskin.
"Hal ini menandakan fasilitas selama ini kurang tepat sasaran, oleh karena itu kita lakukan perbaikan," tuturnya.
Peninjauan ulang tarif PPN juga dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan negara akibat pandemi COVID-19. Sebab PPN merupakan salah satu instrumen yang cukup dominan menyumbang penerimaan negara dengan angka mencapai 42% dari total penerimaan.
"Beberapa negara juga menggunakan PPN dalam rangka merespons pandemi untuk meningkatkan penerimaan negara. Akhirnya ini menjadi bahan diskusi pemerintah untuk melihat apakah Indonesia bisa menggunakan PPN sebagai respons untuk menghadapi situasi yang ada saat ini," tandasnya.
Baca juga: Ini Kriteria Sekolah yang Bakal Kena Pajak |
Simak Video "Pedagang Pasar Tradisional Purwakarta Menolak Keras PPN Sembako"
(aid/das)