Lubang Besar di Balik Rencana Kenaikan PPN

Lubang Besar di Balik Rencana Kenaikan PPN

Soraya Novika - detikFinance
Senin, 14 Jun 2021 19:00 WIB
Infografis Jokowi Gali Lubang Tutup Lubang
Ilustrasi/Foto: Tim Infografis: Zaki Alfarabi
Jakarta -

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mendukung pemerintah soal reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan yang dimaksud tercantum dalam draft RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Salah satu isinya adalah rencana menaikkan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) beberapa barang dan jasa dari 10% menjadi 12%.

Alasannya, untuk mempersiapkan normalisasi APBN 2023. Sebab, selama 2020 hingga 2022, APBN telah memperlebar celah defisitnya hingga 6%. Bila tak segera ditutup, dikhawatirkan di 2023 nanti terjadi defisit yang lebih besar lagi.

"Karena memang reformasi perpajakan diperlukan agar pondasi modal kita masuk ke 2022 ke 2023 kokoh fiskal kita. Kan persoalannya itu sesungguhnya. Kalau nanti kita akan melakukan defisit 4,7% maksimal 4,9%, masuk ke 2023 ke 3%, maka lubang yang harus ditutup terlalu besar," ujar Said dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Senin (14/6/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal lain yang membuatnya mendukung rencana tersebut adalah fakta bahwa PPN Indonesia saat ini termurah se-Asia. Bahkan lebih rendah dari Vietnam.

"PPN kita paling rendah. Di Asia rata-rata 12%. Sedangkan rata-rata anggota G-20 17%," ujar Said dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Senin (14/6/2021).

ADVERTISEMENT

Lagipula, sambung Said revisi reformasi pajak ini tidak hanya fokus pada menaikkan tarif PPN saja. Nantinya dalam reformasi pajak terdapat berbagai macam tarif PPN, seperti tarif umum, tarif final, dan multi tarif. Revisi perpajakan, juga tak hanya mencakup PPN, tapi juga pajak penghasilan atau PPh badan dan PPh perorangan.

Rancangan aturan itu juga akan mengatur pajak karbon dan optimalisasi potensi pendapatan pajak lainnya.

Sampai saat ini, DPR belum secara resmi membahas Revisi Undang-undang KUP. Untuk itu, sembari menunggu pembahasan, ia meminta berbagai pihak tidak menafsirkan sepotong-sepotong isi draf tersebut.

"Karena (persepsi) yang lahir saat ini bukan tiga jenis tarif itu, tapi yang berkembang multitafsir. Padahal DPR-nya belum membahas itu," ucapnya.

Tak Semua Tarif Pajak Naik

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo telah mengklarifikasi, tak semua barang akan terkena tarif baru PPN tersebut. Malahan, Tarif PPN pada sebagian barang atau jasa yang banyak dikonsumsi masyarakat akan diturunkan.

Barang-barang yang banyak dikonsumsi masyarakat, PPN-nya malah akan diturunkan. Sementara barang yang hanya dikonsumsi oleh segelintir orang, khususnya kelas menengah atas maka PPN-nya dinaikkan.

"Yang selama ini mungkin dikenai pajak 10%, nanti bisa dikenai 7% atau 5%, sebaliknya barang-barang yang tidak dibutuhkan masyarakat banyak tapi dikonsumsi oleh kelompok atas yang mungkin sifatnya terbatas itu bisa dikenai pajak lebih tinggi. Itu yang sekarang sedang dirancang," tuturnya.

Selain itu, pemerintah juga menggodok pajak untuk perusahaan merugi. Perusahaan yang mengalami kerugian bakal dikenakan pajak penghasilan (PPh) minimum. PPh minimum dihitung dengan tarif 1% dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto.

"Pajak Penghasilan minimum sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dihitung dengan tarif 1% dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto," bunyi aturan tersebut.

Perusahaan yang dimaksud di sini adalah wajib pajak badan yang pada suatu tahun pajak memiliki pajak penghasilan terutang tidak melebihi 1% dari penghasilan bruto. Ketentuan mengenai batasan 1% dari penghasilan bruto dan besarnya tarif atau dasar pengenaan PPh minimum dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah.

Penghasilan bruto merupakan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan, baik dari kegiatan usaha maupun dari luar kegiatan usaha pada suatu tahun pajak sebelum dikurangi biaya-biaya terkait, tidak termasuk penghasilan yang dikenai pajak yang bersifat final dan penghasilan yang bukan objek pajak.

Selain itu, ternyata tidak semua barang atau jasa akan terkena kenaikan tarif PPN 12%. Pada ayat 2 dijelaskan tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.


Hide Ads