Peternak Nggak Akan Rugi Jika Harga Pakan dan Anak Ayam Naik, Asal...

Peternak Nggak Akan Rugi Jika Harga Pakan dan Anak Ayam Naik, Asal...

Alfi Kholisdinuka - detikFinance
Kamis, 17 Jun 2021 13:56 WIB
Peternak ayam potong
Foto: Enggran Eko Budianto
Jakarta -

Industri perunggasan punya dua tantangan yang bisa membuat peternak merugi. Pertama, kenaikan harga pakan dan anak ayam (Day Old Chick/DOC) yang lebih cepat dari kenaikan harga ayam hidup. Kedua, oversupply akibat importasi bibit ayam grand parent stock (GPS) di tahun 2018-2019.

Menurut Perwakilan Peternak Rakyat Bandung, Muchlis Wahyudi, kedua hal itu jadi hitung-hitungan penting bagi peternak supaya nggak merugi. Pasalnya, jika harga pokok produksi (HPP) lebih tinggi dibanding harga acuan ayam hidup (live bird/LB) di pasaran, tentu itu akan jadi persoalan bagi peternak.

"HPP kita sampai Minggu ini kan kurang lebih antara Rp 19.500 sampai Rp 20.000. Sementara harga acuan ayam hidup sekarang itu Rp 19-21 ribu. Ya itu di bawah HPP, tentu ini jadi beban kita," ujar Muchlis kepada detikcom baru-baru ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, HPP yang tinggi itu imbas fluktuasi harga pakan akibat naiknya harga jagung, gandum, dan SBM (Soybean Meal) sejak Desember lalu yang juga mengakibatkan harga DOC semakin tinggi. Tercatat, harga DOC yang panen minggu ini juga berada sekitar Rp 7.000 sampai Rp 7.800.

Adapun, kata dia, syarat peternak tidak akan merugi imbas fluktuasi harga pakan dan DOC tersebut adalah harga acuan ayam hidupnya stabil di atas harga HPP.

ADVERTISEMENT

"Oleh karena itu, tanggal 27 April kami sudah membuat surat permohonan untuk perubahan harga acuan atau perubahan Permendag No. 7 tahun 2020. Di mana di situ disebutkan harga acuan untuk LB adalah Rp 19 ribu/kg batas bawah, dan Rp 21 ribu/kg batas atas. Dengan harga pasar Rp 35 ribu harga karkasnya," jelasnya.

"Nah kalau batas bawah Rp 19 ribu, ya kita tetap rugi, makanya kami usulkan dari harga acuan sekarang, tambah 10% batas bawahnya di Rp 21 ribu dan batas atasnya Rp 23 ribu. Itu dasar pemikirannya jadi batas bawahnya Rp 21 ribu dan batas atasnya Rp 23 ribu/kg," imbuhnya.

Dia pun mendorong agar perubahan harga acuan itu maksimal berlakunya sampai tiga bulan sekali mengikuti fluktuasi harga sarana produksi peternakan (Safronak). Ia pun meminta pemerintah terkait melakukan pengawasan secara responsif.

"Karena kan bisa saja HPP kita juga bisa berubah, kan gitu. Dan pengawasannya melekat, jangan sampai momentum apapun itu tetap dimanfaatkan oleh ini, yang sekarang ini harga DOC sudah di atas Rp 6.000 minggu ini, nah itu juga sudah di atas harga acuan," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Singgih Januratmoko menambahkan yang paling penting harga inputnya juga ditentukan seperti harga jagung, harga pakan dan DOC. Menurutnya, jika tidak ditentukan hal itu akan sama saja.

"Nanti harga jual Rp 21 ribu sampai Rp 23 ribu tapi apabila biaya produksinya Rp 24 ribu ya sama saja," ungkapnya.

Kendati demikian, ia menyadari bahwa kondisi saat ini lebih baik dari tahun 2020. Hanya saja faktor harga pakan dan jagung yang naik sehingga membuat biaya produksi naik.

"Karena biaya mahal itu, cost untuk kita ternak semakin tinggi juga, jadi keuntungannya tipis, walaupun untung. Tapi lebih baik dari tahun 2020. Cuman lebih untung lagi jika biaya produksinya juga turun," ucapnya.

Proteksi Ayam Indonesia dari Impor Ayam Brazil

Lebih lanjut, dia juga meminta kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk memproteksi produksi ayam Indonesia dari serbuan ayam Brazil. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas industri perunggasan di Tanah Air.

"Impor ayam Brazil dari kemarin sudah ditegaskan oleh Kemendag dalam waktu dekat tidak akan masuk. Tapi kita tetap harus waspada, (untuk) mencegahnya kita harus menurunkan biaya produksi kita dan bahan baku jagung, SBM supaya bisa turun," tuturnya.

"Saya kira ini sangat penting. Pertama, karena memang ini kan ayam dan telur itu, putaran (transaksinya) sampai Rp 400 triliun per tahun. Kedua, jumlah tenaga kerja di industri ini hampir 2 juta orang. Jadi kalau impor kan berarti lapangan kerjanya bisa berkurang banyak, putarannya juga nanti berkurang banyak," jelasnya.

Menanggapi hal ini, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Oke Nurwan mengatakan sampai saat ini pihaknya masih terus berdiskusi dengan para peternak terkait persoalan di industri perunggasan, dan mempertimbangkan usulan peternak.

"Kita masih diskusi dulu, termasuk sekarang lagi di Solo mau pertemuan dengan seluruh perunggasan, maunya seperti apa dan bagaimana, karena kan ada harga acuan itu jangan salah pemahaman. Harga acuan itu bagi penugasan. Jadi tidak bisa ke pedagang, walaupun saya terapkan harga eceran tertinggi tidak boleh kepada pedagang, kita kan mekanisme pasar, tetapi harga acuan itu adalah harga yang akan menjadi acuan pemerintah untuk melakukan intervensi berupa penugasan," jelasnya.

Sementara untuk memproteksi ayam di dalam negeri dari serbuan ayam Brazil, pihaknya memastikan akan responsif terhadap hasil dari proses banding yang sekarang masih berlangsung di World Trade Organization (WTO). Hal ini agar daya saing industri perunggasan Tanah Air tetap terjaga.

"Kita posisinya adalah masih dalam proses banding, ya apa yang bisa kita dapatkan dari proses banding itu tentu kita harus menyesuaikan, itu pemerintah atau pasar di Indonesia tidak lagi dibendung, atau pasar ayam di Brazil itu tidak bisa dibendung, dengan mekanisme administratif," tuturnya

"Artinya kita cari bentuk lain nanti, untuk memproteksinya, sementara itu, yang harus dibangun adalah daya saing, industri perunggasan di dalam negeri, baik itu telur maupun daging ayam, supaya secara alami itu dapat terproteksi. Kalau di dalam negeri itu jauh lebih tinggi dengan harga internasional otomatis akan memicu jadi pemicu barang masuknya dari luar," pungkasnya.

(ega/ega)

Hide Ads