Di Sidang Gugatan, Arteria Bela Pasal Pesangon & Gaji UU Cipta Kerja

Di Sidang Gugatan, Arteria Bela Pasal Pesangon & Gaji UU Cipta Kerja

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Kamis, 17 Jun 2021 14:21 WIB
omnibus law cipta kerja
Foto: omnibus law cipta kerja (Tim Infografis Fuad Hasim)
Jakarta -

Anggota DPR Komisi III Arteria Dahlan hari ini menghadiri sidang uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi. Ia hadir mewakili DPR untuk memberikan pandangan perihal UU kontroversial tersebut.

Dalam kesempatan itu, ia memberikan pembelaan UU Cipta Kerja yang saat ini tengah digugat. Dia mengatakan semua ketentuan ketenagakerjaan di dalam UU ini sudah sesuai dengan keinginan semua pihak, termasuk buruh.

Dia menepis anggapan bahwa UU Cipta Kerja dibahas tanpa mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Menurutnya, pemerintah dan DPR selalu mengajak semua pihak ikut terlibat, apalagi serikat pekerja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Arteria, keinginan dan usulan para pekerja sudah diakomodir semua bahkan hampir tidak ada yang berubah. Ketentuan ketenagakerjaan menurutnya hanya berubah pada aturan pesangon dan upah saja. Dua hal ini juga yang sering dikeluhkan kaum buruh.

"Tidak ada satupun keinginan serikat pekerja yang titik komanya diubah, dia bawa draf, dihadirkan, semua ada. Yang berubah yang mana? Hanya dua isu, yang namanya upah dan pesangon, ini kan ramai diprotes juga," ungkap Arteria dalam sidang uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, Kamis (17/6/2021).

ADVERTISEMENT

Arteria lantas menjelaskan mengapa kedua hal itu berubah dalam UU Cipta Kerja. Untuk pesangon menurutnya memang jumlahnya diturunkan namun hal ini dinilai bertujuan untuk kepastian hukum aturan pesangon. Masalahnya, dia menjabarkan selama ini saat pesangon mencapai 32 kali upah, hanya sedikit sekali perusahaan yang melakukannya.

"Pesangon mungkin kelihatan turun, dari 32 kali upah menjadi 25, tapi kepikir nggak? 32 kali upah yang menjalankan cuma 7%, kecil sekali," papar Arteria.

Yang dihadirkan dalam UU Cipta Kerja justru dinilai Arteria sangat revolusioner dan progresif. Pengusaha memang diringankan hanya membayar 19 kali upah untuk pesangon dan sisanya pemerintah. Namun, apabila hal itu tidak dibayarkan akan ada sanksi menanti.

"19 kali upah pasti dijamin dari pengusaha, 6 dari pemerintah. Bagaimana kalau pengusaha tidak bayar? Sudah kita kurangi kamu nggak mau bayar? Mau disanksi, dipidanakan. Ini lah kepastian hukumnya yang harus dilihat teman-teman buruh," ungkap Arteria.

Arteria juga sempat menyampaikan pandangan lainnya terkait Omnibus Law Cipta Kerja. Buka halaman selanjutnya.

Kemudian ia menjelaskan mengenai penghapusan upah minimum sektoral alias UMSK dalam UU Cipta Kerja, hal itu dihapus karena memang tak banyak daerah yang menggunakannya. Dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia, yang menggunakan UMSK menurutnya hanya 40 wilayah saja.

Meski menggunakan upah minimum provinsi menurut Arteria pemerintah dan pemangku kepentingan akan memastikan dan berupaya agar jumlahnya naik tiap tahun.

"Kita ada 514 kabupaten kota, yang pakai UMSK hanya 40-an saja, itu pun di kota besar. Masak kita fokus ke 40 ini aja. Makanya, base-nya di upah provinsi, yang dipastikan naik sesuai kebutuhan dan kekuatan dunia usaha dan capaian kinerja pekerja," ungkap Arteria.

Arteria melanjutkan, justru UMSK sebetulnya sering dijadikan alat politis di kontes pemilihan kepala daerah. Banyak calon pimpinan daerah mengizinkan penggunaan UMSK, namun ujungnya tak bisa diterapkan pengusaha.

"UMSK kalau dimainkan, ini cuma jadi produk politik, tiap mau Pemilu, Pilkada, semua calon Bupati bilang bebas pakai UMSK, setelah itu ada nggak bisa bayar bupatinya lepas tangan. Buruhnya juga yang susah," jelas Arteria.

Sebagai informasi, Arteria sendiri mewakili DPR dalam sesi permintaan keterangan DPR soal uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi. Pihak pemerintah juga datang hari ini diwakili 10 menteri dari kabinet untuk memberikan tanggapan Presiden Joko Widodo.

Adapun, sidang yang diadakan hari ini dilakukan menggabungkan beberapa gugatan. Mulai dari Perkara no 91, 103, 105, 107/PUU-XVII/2020 dan Perkara 4,6/PUU-XIX/2O21. Diketahui, mayoritas gugatan-gugatan ini diajukan oleh elemen pekerja dan buruh yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja.


Hide Ads