Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyatakan keyakinannya bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh 7% di kuartal II-2021. Dengan begitu target pertumbuhan ekonomi secara tahunan di 2021 yakni 4,5-5,5% bisa tercapai.
Namun keyakinan itu sepertinya sulit tercapai. Penyebabnya masih sama yakni pandemi COVID-19.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan, jika melihat kondisi tahun lalu ketika gelombang pertama kasus Corona terjadi, pertumbuhan ekonomi terkontraksi selama 3 kuartal berturut-turut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal yang sama lah yang bisa terjadi saat ini. Proses pemulihan ekonomi yang sebenarnya sudah mulai terlihat bisa terganggu ritmenya. Apalagi jika kasus baru terus mengalami penambahan," terangnya saat dihubungi detikcom, Minggu (20/6/2021).
Yusuf melanjutkan melihat penambahan kasus COVID-19 yang signifikan belakangan ini semakin menurunkan peluang pertumbuhan ekonomi. Apalagi mencapai target yang dicanangkan Jokowi tersebut.
Namun, bukan berarti pertumbuhan ekonomi akan kembali terkontraksi atau berada di teritori negatif. Hal itu akan bergantung pada intervensi pemerintah nantinya.
"Jika misalnya intervensinya tidak kuat, khususnya dalam penanganan kesehatan, saya kira akan semakin berat mencapai target pertumbuhan 5% yang dicanangkan pemerintah tahun ini. Kalau berbicara kuartal II justru dengan adanya peningkatan kasus COVID-19, peluang untuk bisa tunbuh ke sana, semakin kecil," terangnya.
Sementara Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, jika pemerintah kembali menerapkan PSBB yang diperketat maka dampak yang kembali muncul adalah pelemahan konsumsi rumah tangga yang tajam.
"Proyeksi di kuartal ke II tahun 2021 maksimal tumbuh 2-4% tidak setinggi proyeksi pemerintah yang 8% itu. Lebaran seakan jadi momen pemulihan daya beli, tapi karena risiko kesehatan naik maka faktor musiman Lebaran jadi tidak banyak membantu. Sementara kuartal ke III dengan asumsi kondisi COVID-19 masih sama maka proyeksi pertumbuhan berisiko negatif," terangnya.
Kondisi yang buruk ini menurut Bhima masih akan berlanjut di kuartal III-2021. Situasi akan semakin kompleks dengan meningkatnya tekanan dari eksternal yakni normalisasi kebijakan moneter bank sentral AS yang akan membuat rupiah cenderung melemah.
"Sementara harga minyak dunia yang naik memicu penyesuaian harga BBM non subsidi dan tarif listrik. Selain itu kuartal ke III tidak ada momen kenaikan konsumsi, beda dengan kuartal ke II yang bertepatan dengan Lebaran di mana konsumsi biasanya lebih tinggi dari periode lain," tambahnya.
(das/zlf)