Kenapa Ivermectin Disebut Bisa Jadi Obat Terapi COVID, Begini Penjelasannya

Kenapa Ivermectin Disebut Bisa Jadi Obat Terapi COVID, Begini Penjelasannya

Anisa Indraini - detikFinance
Minggu, 27 Jun 2021 11:21 WIB
Ivermectin is not a brand name: it is the generic term for the drug.
Foto: Getty Images/iStockphoto/RapidEye
Jakarta -

Penggunaan Ivermectin sebagai salah satu obat untuk kepentingan terapi penyembuhan COVID-19 masih menjadi pro kontra di masyarakat. Hal itu dianggap wajar karena sampai saat ini belum ada obat sebenarnya yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Sampai saat ini WHO juga belum menetapkan obat untuk COVID-19 termasuk Remdesivir dan Hidroksiklorokuin karena ini penyakit yang baru sehingga semua negara masih terus melakukan penelitian obat COVID-19," kata Ahli dari Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Budhi Antariksa dalam keterangan tertulis dikutip detikcom, Minggu (27/6/2021).

Menurut dokter dari Departemen Paru RS Persahabatan itu, Ivermectin adalah obat yang terbuat dari tanaman jamur dan telah dikembangkan lebih dari 30 tahun untuk obat anti parasit. Termasuk untuk obat cacing pada manusia, hewan ternak atau peliharaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari beberapa penelitian dan ujicoba seperti dari Jepang dan beberapa negara, Ivermectin dinilai bisa berperan dalam pengobatan virus.

"Jadi semua itu ada bukti ilmiahnya yang dituangkan dalam jurnal kesehatan. Ivermectin bisa menghambat replikasi virus. Virus itu kan seperti parasit yang tak bisa hidup di luar inangnya. Dengan meminum Ivermectin, replikasi bisa dihambat di dalam sel tubuh manusia karena replikasi bisa dihambat, jumlah virusnya akan berkurang dan akan habis termasuk virus COVID-19," ungkap Budhi.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan catatannya dari data dan penelitian yang dilakukan di luar negeri, efektifitas Ivermectin untuk menghambat duplikasi virus atau parasit di tubuh manusia sangat besar.

Menurut jurnal kesehatan Ivermectin bisa diberikan ke pasien COVID-19 dengan meminum selama 1-5 hari melalui dosis terukur berdasarkan berat badan (200 mikrogram per 1kg berat badan). Jika di hari ke-8 dan 10 dilakukan PCR test, maka minimal 80% pasien yang tadinya positif bisa menjadi negatif.

"Memang di luar negeri sudah dilakukan penelitian. Penggunaan Ivermectin untuk terapi COVID-19 di Indonesia masih baru. Kementerian Kesehatan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) terus melakukan uji coba berbagai obat untuk terapi COVID-19, termasuk Ivermectin," bebernya.

Saat ini Indonesia mengalami serangan COVID-19 varian Delta yang memiliki karakteristik virus duplikasi sangat cepat. Dokter di India menurut jurnal yang dibaca Budhi menyebut, Ivermectin mampu untuk menurunkan jumlah pasien positif COVID-19.

Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa ada efek samping dari Ivermectin seperti nyeri ulu hati. Hal itu dinilai hanya sebagian kecil dari rentang keamanannya, terbukti obat itu telah dipakai lebih dari 30 tahun.

"Pasien yang mendapatkan tambahan Ivermectin efektifitas sembuhnya 60% sampai 70% sehingga Ivermectin mampu menekan pasien COVID-19 di India. Memang ada pro dan kontranya. Dengan varian yang sama dengan India, kita harus mengambil pelajaran berharga di India, namun jika manfaat Ivermectin lebih banyak daripada mudaratnya, kenapa tidak kita coba. Kondisi saat ini bukan yang normal," kata Budhi.




(aid/zlf)

Hide Ads